"Marriage is Scary" atau "pernikahan itu menakutkan" mencerminkan ketakutan atau kekhawatiran tentang pernikahan yang semakin banyak diperdebatkan, terutama di kalangan generasi muda. Ada banyak faktor sosial, psikologis, dan budaya yang memengaruhi cara orang melihat pernikahan sebagai hal yang menakutkan. Salah satu alasan utamanya adalah meningkatnya tingkat perceraian, yang mengarah pada ketakutan akan kegagalan hubungan dan dampaknya terhadap kesejahteraan emosional dan finansial. Selain itu, banyak individu yang melihat pernikahan sebagai komitmen jangka panjang yang penuh tekanan, terutama dalam dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian. Kecemasan ini diperburuk dengan faktor ekonomi, di mana beban finansial, ketidakpastian pekerjaan, dan biaya hidup yang tinggi membuat banyak orang merasa ragu untuk memasuki pernikahan. Di sisi lain, perubahan norma sosial yang lebih menerima hubungan tidak formal atau hidup bersama tanpa menikah juga berkontribusi pada penurunan minat terhadap pernikahan sebagai institusi tradisional. Banyak orang merasa bahwa hubungan yang sehat tidak selalu harus melalui pernikahan, dan mereka lebih memilih untuk fokus pada kebebasan pribadi atau karier daripada berkomitmen pada hubungan yang terikat secara hukum dan sosial.
Kekhawatiran yang muncul di kalangan generasi muda mengenai pernikahan, yang sering diungkapkan dengan istilah "Marriage is Scary," mencerminkan berbagai tantangan sosial dan psikologis. Ketakutan ini sering kali berakar dari pengamatan terhadap tingkat perceraian yang tinggi dan pengalaman negatif dari orang-orang terdekat, seperti orang tua atau teman. Dalam konteks ini, konseling pernikahan dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk membantu individu dan pasangan mengatasi ketakutan tersebut. Melalui konseling, pasangan dapat belajar untuk berkomunikasi lebih baik, memahami harapan satu sama lain, dan mengeksplorasi kekhawatiran mereka tentang komitmen jangka panjang serta dampak finansial dari pernikahan.
Selain itu, konseling pernikahan juga dapat memberikan ruang bagi pasangan untuk mendiskusikan harapan dan ketakutan mereka tanpa tekanan dari lingkungan sosial atau media. Dengan bantuan seorang terapis, mereka dapat mengidentifikasi pola pikir yang mungkin menghambat hubungan mereka dan menggantinya dengan perspektif yang lebih positif. Ini sangat penting di era di mana banyak orang lebih memilih hubungan tidak formal atau hidup bersama tanpa menikah. Konseling dapat membantu pasangan memahami bahwa pernikahan bukan hanya tentang memenuhi ekspektasi sosial, tetapi juga tentang membangun ikatan yang sehat dan saling mendukung dalam menghadapi tantangan hidup bersama. Konseling pernikahan dapat dilakukan saat sebelum menikah dan sesudah menikah dengan tujuan-tujuan baik dan berbagai manfaatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H