Pengamat Politik dari Indonesia Public Institute (IPI) Jerry Massie menyebut bahwa peranan media begitu penting, terutama dalam ajang pesta demokrasi atau pemilu, seperti sekarang ini. Karenanya, tak bisa dipungkiri bahwa media adalah bagian penting dalam demokrasi.
Bahkan, media merupakan salah satu pilar demokrasi," kata Jerry Massie saat berbicara dalam Diskusi bertema Siapa yang Memanipulasi Demokrasi: Prabowo atau Media? yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia atau KMI di kawasan Salemba, Jakarta Pusat
Di ajang pilpres 2019 ini, lanjut Jerry lagi, media menjadi salah satu faktor penting, bahkan menang dan kalah itu bisa ditentukan oleh media. Namun dalam perjalanannya, terkadang media menjadi sasaran empuk untuk diserang.
Contohnya saat salah satu calon presiden yaitu Prabowo menuduh media tidak berimbang karena tidak memberitakan acara 212, media dituduh sudah berpihak ke calon tertentu. Padahal media berdiri pada posisi ABC, Accuracy (keakuratan), Balance (seimbang) dan Credibel (kredibel). Seharusnya, menurut Jerry, media dijadikan sebagai partner, mitra, mengingat media akan mempublikasi gagasan dari para calon tersebut.
Ketika anda mulai menyerang media, di sanalah keruntuhan demokrasi. Ketika dia menyepelekan media, maka sama saja menyepelekan demokrasi. Sementara Yunanto Hariandja mengatakan bahwa Independen dan Netralitas itu berbeda. Netralitas itu berkaitan dengan kebenaran. Pers harus independen. Media sangat boleh untuk memiliki kecenderungan mendukung siapa pun dalam koridor yang tetap independen dan netral. Artinya obyektifitas tetap terjaga.Â
Narasi yang dilempar Prabowo selalu hal-hal negatif, kenapa? Karena dia berpikir bad news is a good news. Dan ketika narasi negatif dari mereka muncul, maka rame-rame pemberitaan muncul. Ini adalah cara dia agar mendapat pemberitaan gratis. Maka kini kami kalangan media muncul dengan Fact Check. Untuk mengantisipasi narasi-narasi negatif dan manipulatif dengan akurasi dan fakta.
Lebih lanjut Yunanto menegaskan Kami memahami prinsip dalam jurnalistik. Pada kasus Reuni 212, fakta yang kami temukan, tidak ideal disebut reuni, yang semestinya saling bertemu, tertawa, berbincang, yang ada hanyalah panggung politik. Terutama pernyataan 10 juta orang, yang tidak logis sama sekali. Padahal penduduk DKI saja 10 juta orang. Momen reuni 212 memang direncanakan tim Prabowo akan ditampilkan live, diamplify, namun ternyata hanya satu TV swasta nasional saja yang menampilkan sejenak secara live.
Magnitude berita menjadi pertimbangan media dalam memilih konten pemberitaan. Maka ketika Prabowo menggunakan narasi rakyat gantung diri karena kemiskinan, yang tidak relevan diberitakan karena eskalasi pemberitaan harus dijaga untuk kemaslahatan umat. Perlu check and recheck. Maka Prabowo terpilih, media akan set back, pers akan terkubur dalam dan tidak akan bangkit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H