Belakangan, spanduk penolakan gereja di Jagakarsa, Jakarta Selatan viral beredar di media sosial. Dalam spanduk tersebut, tertulis bahwa warga Jagakarsa menolak gereja mengingat mayoitas penduduk di daerah tersebut beragama Islam. Mendengar kabar tersebut, lantas seorang teman bertanya mengapa mayoritas masyarakat sangat intoleran terhadap kita yang beragama Kristen.
Saya melihatnya dan hanya tersenyum mendengar persepsinya yang terpengaruh atas spanduk tersebut.
Tak lama, saya kembali membuka ingatan tentang kisah heroik pemuda muslim yang sangat berjasa dalam melindungi masyarakat beragama Kristen. Kisah ini berulang-ulang diceritakan Ibu saya sebagai bentuk penghargaan tertinggi kepada pemuda tersebut.
Namanya Riyanto, seorang pemuda di Mojokerto yang tergabung dalam anggota Banser NU. Tepat 18 tahun lalu, ia bersama anggota Banser lainnya berpartisipasi dalam mengamankan kegiatan Natal di gereja Eben Haezar Mojokerto. Awalnya, tidak ada yang berbeda dari Natal tersebut sampai ia menemukan bungkusan hitam yang ternyata berisi bom.
Setelah mengetahui, Riyanto langsung membawa bom tersebut keluar gereja dan melemparnya. Sayangnya, bom tersebut justru terpental dan kembali mendekati lingkungan gereja.
Melihat hal tersebut, ia kembali mengambil bom tersebut dan mendekapnya. Hingga bom tersebut meledak dan menyebabkan ia meninggal.
Kisah yang rutin diceritakan Ibu saya tersebut memperlihatkan betapa besarnya pengorbanan seorang pemuda Muslim terhadap kegiatan agama yang tidak dianutnya. Ia justru menyelamatkan saudara-saudara yang berbeda iman dengannya.
Nyatanya, Riyanto menunjukkan dirinya kepada bangsa Indonesia sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan, toleransi dan kasih sayang. Sembari menceritakan hal tersebut kepada teman yang bertanya, saya menyisipkan pesan, Indonesia masih dipenuhi dengan sejuta keindahan dari keberagaman dan perbedaan. Masih banyak Riyanto lain yang berbagi kasih sayang kepada saudara yang berbeda iman.
Oleh karenanya, kejadian di Jagakarsa tidak dapat disebut sebagai perilaku umat Muslim melainkan hanya segelintir orang yang masih belum dapat menerima perbedaan secara utuh.
Contoh lain indahnya perbedaan di Indonesia juga dapat dilihat dalam praktik keagamaan di Bali. Ketika saya menjalani kegiatan ibadah Paskah di GKI Denpasar, para pecalang justru ikut ambil bagian untuk mengamankan kegiatan tersebut. Begitu juga yang terjadi saat umat Islam sedang melaksanakan sholat Jum'at. Mereka aktif menjaga kegiatan ibadah di luar keyakinan mereka tanpa ada perasaan benci ataupun intoleran sedikitpun. Tentu gambaran-gambaran ini sangat indah dipertahankan dan dipupuk untuk menjaga persatuan bangsa.
Oleh karenanya, penting bagi daerah lain di Indonesia untuk mengadopsi nilai toleransi di Bali. Masyarakat dengan agama apapun akan tinggal dengan nyaman dan tenteram dalam harmonisnya kerukunan beragama. Sikap yang ditunjukkan oleh Riyanto dan para pecalang di Bali seyogyanya memberikan makna kepada bangsa Indonesia untuk merekat perbedaan dengan rasa, bukan dengan paksa. Saat perbedaan dan keberagaman direkat dengan rasa, niscaya Indonesia akan tampil sebagai negara paling toleran di dunia.