Dewasa ini, korupsi sudah menjadi penyakit akut yang kian menyebar di Indonesia. Mulai dari bupati, gubernur, anggota DPR hingga menteripun ikut terseret dalam kasus korupsi. Tentunya, perilaku tikus-tikus berdasi tersebut berdampak pada kerugian negara. Untungnya, pemerintah melalui KPK, secara perlahan mulai memberantas penyakit korupsi hingga ke akar-akarnya.Â
Salah satunya, Setya Novanto, pimpinan tertinggi lembaga DPR, berhasil diseret ke jeruji besi dan diadili atas tindak pidana korupsi proyek E-KTP. Hal tersebut sedikit banyak menunjukkan komitmen KPK dalam mengambil sikap independen dan profesional untuk memberantas korupsi.
Meskipun KPK dikenal atas komitmennya dalam memberantas korupsi, ternyata masih terdapat oknum yang tak takut untuk melanggengkan praktik-praktik jahat tersebut di Indonesia. Salah satunya Fayakhun Andriadi, mantan anggota komisi I DPR, yang terlibat dalam kasus suap pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla).Â
Pasalnya, Fayakhun menerima uang suap sejumlah US$ 911.480 atau sekitar Rp 12 Milliar dari Direktur Utama PT Merial Esa. Suap tersebut diberikan kepada Fayakhun agar mengalokasikan penambahan anggaran Bakamla untuk pengadaan proyek satelit monitoring dan drone tahun anggaran 2016.
Kasus korupsi tersebut menyita perhatian masyarakat karena Fayakhun mengaku bahwa transaksinya tersebut didukung oleh tiga anggota keluarga Presiden Jokowi yang diperkenalkan oleh staf Kepala Bakamla, Ali Fahmi alias Ali Habsyi. Banyak pihak yang akhirnya memanfaatkan kasus ini sebagai senjata politik untuk menjatuhkan kredibilitas Presiden Jokowi. Namun, jika dipikir dengan seksama, masyarakat akan mengetahui pencatutan nama oleh Fayakhun tersebut terlihat sangat abstrak dan tidak berdasar.
Dalam kesaksiannya, Fayakhun mengakui ia dipertemukan kepada tiga anggota keluarga Jokowi untuk menunjukkan adanya dukungan dari Presiden Jokowi atas transaksi nakal tersebut. Namun, saat ditanyakan siapa nama dari tiga anggota keluarga Jokowi tersebut, Fayakhun mengaku lupa dan tidak dapat menjawab.Â
Tentu hal yang aneh jika Fayakhun tidak menghafal dengan jelas siapa pihak yang akan menjadi back up seandainya transaksi nakal tersebut terbongkar sewaktu-waktu. Jika hal itu benar, sudah selayaknya Fakhayudin berusaha untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh ketiga orang tersebut agar dapat melanggengkan transaksinya.Â
Sayangnya, Fakhayudin bahkan tidak dapat menyebutkan nama mereka. Tentu tidak salah jika pernyataan Fakhayudin tersebut dianggap sebagai keterangan yang tidak berdasar atau justru rekayasa.
Menanggapi kasus tersebut, masyarakat harus cerdas menilai isu yang beredar. Meski tak disadari, Presiden Jokowi tampaknya menjaga keluarganya agar tak terlibat dalam kepentingan bisnis negara. Sebut saja Kaesang, anak seorang Presiden, justru memilih profesi sebagai pengusaha pisang olahan. Gibran, anak sulung Presiden Jokowi, memilih profesi sebagai pengusaha martabak. Begitu pula dengan Kahiyang yang lebih menikmati posisi ibu rumah tangga.
Tak seperti Presiden sebelumnya, Jokowi memiliki komitmen untuk menjaga keluarganya agar tidak terlibat dalam urusan politik, pemerintahan maupun BUMN. Melalui komitmen tersebut, Presiden Jokowi ingin menunjukkan model nyata dari upaya pemimpin dalam menghindari konflik kepentingan. Tujuannya tak lain untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih dari kepentingan pribadi dan keluarga. Akhir kata, penulis menilai tuduhan keterlibatan Jokowi bukanlah sebuah fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, melainkan rekayasa dan fiktif belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H