2004 adalah tahun ketika seorang anak laki-laki bernama Ilham lahir. Ya, itulah aku—anak kedua yang saat itu menjadi bungsu, sebelum akhirnya posisi bungsu "direbut" sepuluh tahun kemudian. Seperti judul tulisan ini, aku memang memiliki bakat yang bisa dibilang setengah-setengah. Bagaimana tidak? Setiap kemampuan yang kumiliki hanya sebatas "bisa", namun tidak pernah sampai pada level "jago". Terkadang, aku merasa iri melihat orang-orang di sekitarku yang setidaknya memiliki satu bakat yang mereka kuasai dengan baik. Namun, ada satu hal yang mereka miliki, tetapi tidak ada padaku—keinginan kuat untuk mendalami bakat. Mungkin ini terdengar tidak wajar; aku iri pada orang berbakat, tapi tidak memiliki semangat untuk menjadi seperti mereka.
Memilih jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) adalah tantangan tersendiri. Menjadi guru taman kanak-kanak menuntut seseorang untuk memiliki beragam keterampilan. Di sinilah aku mulai berpikir untuk mencoba meningkatkan semangatku dalam mengasah bakat "setengah-setengah" yang kumiliki. Aku sadar bahwa menjadi guru tidak cukup hanya dengan kemampuan yang ada saat ini; aku harus terus meningkatkan nilai diri agar bisa menjadi guru yang profesional dan mampu mencetak generasi penerus bangsa.
Sekarang, aku sudah memasuki tahun kedua perkuliahan. Sebenarnya, selama ini aku lebih banyak bersantai, dan aku menyesali hal tersebut. Di semester ini, aku ingin mulai mendalami semua bakat yang kumiliki, mencoba hal-hal baru, serta memperluas relasi pertemanan. Selain memiliki bakat yang setengah-setengah, aku juga memiliki keterampilan komunikasi sosial yang kurang baik, sehingga sulit bagiku untuk mencari teman baru. Dengan semangat baru di semester ini, aku berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik, dengan bakat yang sudah lebih matang dan mumpuni ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H