Mengutip Anies Baswedan yang berujar bahwa “Bullying merajalela karena orang baik diam” (metrotvnews.com) sepenuhnya benar. Tapi mungkin sedikit kurang lengkap dan di sini saya tambahkan: dan orang tidak baik terus aktif bergerak.
Sosial media: yang gratis, yang bebas, yang antah berantah, menjadi tempat ideal bagi orang-orang tidak baik itu bergerak. Mereka bisa perorangan; beroperasi secara indvidual dengan pola gerak “random”. Atau bisa juga berkelompok; beraksi secara terorganisir dengan pola gerak sistemik--dan biasanya massif-sporadik. Apapun itu, mereka sama-sama berbuat satu hal yang tak terpuji: melakukan kekerasan di sosial media. Jenis tindak kekerasan yang baru, anak kandung era 2.0, yang menghantam tidak kepada fisik tapi kepada sesuatu yang bersifat tak kasat: citra dan kesan pribadi seseorang. Aksi ini biasa kita sebut dengan istilah character assassination atau pembunuhan karakter.
Tapi sebagian orang yang berpaham bahwa tujuan akhir politik itu adalah kekuasaan—dan karenanya melegitimasi ikhtiar apapun asal demi peroleh kekuasaan—akan mengatakan bahwa aksi bully di sosial media itu hanyalah upaya taktis politis warga di luar parlemen untuk melakukan kontrol dan mengaktualisasikan hak-hak lainnya sebagaia warga, selain menularkan kesadaran kritis terhadap warga lainnya. Dalam batasan tertentu saya pun sepakat. Memang internet dan sosial media adalah ruang publik yang mustinya dibiarkan berkompetisi alamiah tanpa dikte penguasa.
Sampai akhirnya saya meninjau ulang pemikiran saya tersebut tatkala menemukan satu kasus khusus yang nyaris sepenuhnya lain dengan kasus-kasus bully-ing lainya: bencana Banjarnegara.
Munculnya satu akun baru palsu salah satu menteri yang--saya duga kuat*--dengan sengaja bercuit keliru atas nama menteri—Menko PMK, Puan Maharani--tentang lokasi bencana (Banjarnegara yang seharusnya Jawa Tengah menjadi Jawa Barat) agar mendapat respon negatif dari netizer, cukup menohok nurani saya! Bukan masalah siapa yang “terbunuh” dari aksi pembunuhan karakter ini, tapi suatu kondisi yang dengan sadar dilibatkan—dan juga dikorbankan--pelaku demi sebuah efek viralitas bully: tragedi bencana alam di Banjarnegara yang tengah menjadi sorotan bangsa.
Tapi tragedi yang dengan sengaja dibawa dalam amuk nafsu politik** ini dapat kita tarik lebih jauh kembali secara emosi melampaui apa yang disebut pemerintah sebagai “bencana” ke sesuatu yang lebih kongkrit dan “kemanusiaan”: para korban; yang terdiri dari puluhan nyawa melayang, erangan nyeri ratusan korban hidup, jeritan histeris sanak saudara korban dan ratapan mereka yang kehilangan harta bendanya. Kondisi nan mencekam dan menyayat hati siapapun yang masih berkeperimanusiaan.
Di tengah tragedi berdarah bernanah ini, hadirlah seseorang (atau mungkin bagian dari organisasi) di suatu tempat nyaman yang terkoneksi baik ke jaringan internet, yang dengan apik mengoperasikan perangkat komputerasinya, yang mungkin ditemani dengan secangkir kopi dan sebungkus ciki, yang sama sekali tidak merasa memiliki kaitan seutas pun dengan tragedi yang terjadi di bagian lain kolong langit Indonesia—langit yang sama-sama menaunginya—dengan kalem ia menulis di akun @puanmaharani25: “Turut berduka cita atas musibah longsor banjarnegara jawa barat”.
Ketika itulah saya—dan pasti kita semua—wajar untuk merasa tertegun. Ketika yang tragedi dijadikan bahan komedi dan korban luput dari perhitungan demi sebuah dagelan. Di atas semua itu, ada satu yang membuat kita kembali wajar untuk mengecam aksi bully ini: korban yang tak diperhitungkan, bencana yang tak dirasa, dan tragedi yang dipolitisasi, semua terjadi di atas satu naluri: merebut kekuasaan dengan segala cara.
Catatan:
*Siapapun tahu ini disengaja mengingat Puan Maharani pernah nyaleg di Dapil Jawa Tengah. Dan seperti yang dikatakan salah seorang kolega di partainya, Eva K Sundari, “Enggak mungkin Puan tidak mengetahuinya, pasti hafal. Puan pernah meresmikan Jalan Soekarno di Banjarnegara” Dan siapapun tahu ini pasti “by design” mengingat efek viral dari tweet-nya yang tak lazim untuk sebuah akun baru dengan followers yang baru sedikit.
**Motif politik akun @puanmaharani25 yang saya tangkap: membunuh karakter pribadi salah seorang anggota kabinet dengan mencitrakannya sebagai orang yang tidak pintar. Dan hal ini akan menimbulkan setidaknya dua konsekuensi logis terhdap politik citra pemerintah: ketidak-profesional-an Kabinet Kerja Jokowi dan memunculkan keraguan terhadap independensi Jokowi sebagai presiden khususnya dalam konteks penentuan formasi anggota kabinetnya (karena pemiihan menteri ini termasuk dalam hak istimewa presiden—hak prerogatif--maka ini tentu merupakan bagian paling “empuk”dan paling strategis untuk “menyerang” citra independensi seorang presiden)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H