Tidak menjadi ukuran seseorang yang memilki banyak ilmu pengetahuan akan menjadi orang yang bermoral. orang yang memiliki moral yang baik tentu akan akan memiliki akhlak yang baik. bahwa dikatakan hakikat seseorang itu berilmu itu akan semakin baik akhlaknya. seandainya kita melihat pada kehidupan real sekarang ini jauh sekarang jauh sekali dengan yang kita bayangkan. bukan hanya seseorang yang berasala dari kalangan biasa, orang yang sudah berillmupun banyak yang tidak mengindahkan kata "MORAL".
Moral hanya sekedar ucapan, tapi tindakan jauh memungkinkan. Apabila kita melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, dunia ininampak semakin tua,manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi pun semakin canggih. Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin nyaman, dan semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya? Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan terpuruk, reformasi kita kebablasan, korupsisemakin terang-terangan dan merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai, dab semakin derasnya arus globalisasi.
Bangsa ini nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang demikian rumit ini. Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9) bahwa “Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.”
Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya ekonomi, tetapi juga mengakibatkan merosotnya kualitas hidup, bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang menyebabkan semua itu? Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada yang mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil, rakyatnya tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dsb.
Bagaimana dengantahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama masih juga terabaikan? Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis multi dimensi, termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena telah terabaikannya “Pendidikan Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi penerus.
Betapa tidak, ajaran agama mengatakan: “carilah untuk kehidupan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan carilah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok,” hal ini mengandung makna bahwa dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama hendaklah seimbang, berotak Jerman berhati Mekah, demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan akherat nanti. Dengan demikian, jikalau di sekolah dasar seperti SD, SMP, atau SMU terdapat 36 jam pelajaran perminggu, setidaknya meski terdapat 18 jam untuk ilmu pengetahuan umum dan 18 jam untuk agama (semua agama), atau paling tidak 20 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 16 jam untuk agama( pendidikan nilai moral). Sedangkan yang ada dari dulu sampai sekarang komposisinya adalah 34 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 2 (dua) jam atau paling banyak 4 (empat) jam untuk pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.
Jadi, dengan hanya 4 (empat) jam pelajaran perminggu anak sebagai generasi penerus mendapatkan apa? Agama yang kokoh? Moral yang tinggi? Akhlaq mulia? Mungkin tidak, barangkali hanya mendapatkan kulitnya saja, dan tidak tau isinya. Akhirnya agama hanya dibibir sebagai lipstik, belum menjadi penghayatan dan pengamalan. Orang yang mengaku beragama tetapi tidak pernah mengamalkannya, ia bagaikan memiliki garam satu truk tetapi tidak pernah tahu rasa asinnya, punya gula satu peti kemas tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran generasi penerus kita. Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama tidak tertanam dan tidak dimilikinya oleh anak didik kita, kecuali hanya sangat sedikit. Apa akibatnya? Ketika mereka menginjak bangku SMP sudah mulai
tawuran, menginjak SMA mendapatkan julukan SMA tawuran, dan ketika mereka menduduki bangku kuliah, apa yang terjadi. Kalau mereka menjadi mahasiswa, mungkin akan menjadi mahasiswa yang agresif, pemberani, pendemo dan tukang tawuran. Kalau kelak mereka menjadi pejabat, mungkin tidak jujur dan korup. Inikah moral mereka?
Pendidikan nilai moral/agama sangat penting bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan nilai moral (agama, budi pekerti, akhlaq) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut marut. karena hilangnya moral bangsa sebagai karakter dan cirri khassuatu bangsa, Oleh karena itu “Munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini mencerminkan kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan sosial yang carut marut.” (Dedi Supriadi, Pikiran Rakyat 12 Juni: 8-9).
Inilah waktunya untuk menentukan apakah nilai-nilai moral penting bagi masa depan anak-anak kita, keluarga kita, dan kemudian mendukung dan mendorong mereka mempraktikkan nilai - nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga mampu terwujud bangsa yang berkarakter moral yang luhur. Siapa yang bertanggung-jawab untuk mengajarkan nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita? Tanggung-jawab itu dipikul oleh kita semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu mengajarkan nilai moral, tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarnya. Nilai-nilai moral yang kita tanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakat yang akan datang.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H