Politik itu kekuasaan yang tersurat. Kebudayaan itu kekuasaan yang tersirat. Bagi negara yang belum mapan basis kebudayaannya, proses politisasi cenderung bermakna negatif. Politisasi agama, politisasi hukum, politisasi pendidikan dsb. Apa saja yang diberi label politik menjadi bermakna negatif.
Politik seolah hanya memiliki satu pintu. Abuse of power. Penghadang kejujuran. Setiap kerja politik selalu menagih upah. Bersifat jual-beli. Serba pamrih. Menggeser "obyektifitas" menjadi "subyektifitas". Mengubah opini jadi fakta. Kesuksesan kerja politik hanya diukur dalam meraup kekuasaan. Puncak-puncak kesuksesan politik adalah menduduki jabatan. Kepiawaiannya diukur dalam kemampuan melobi. Akibatnya, kerja politik mudah jatuh pada menghalalkan segala cara. Pusat pengelabuan. Ruang tukar-menukar fitnah. Penuh dengan semangat kebencian. Lawan dan kawan diukur dalam persekutuannya dalam menyamakan cita-cita. Dewanya uang, berhalanya kekuasaan. Karenanya, tanpa landasan kebuduyaan yang mapan, kontestasi politik pada dasarnya, pertarungan "kejahatan moral".
Sebaliknya, kerja kebudayaan adalah kerja kesukarelaan. Tidak ada upah yang bisa dipertukarkan. Tidak ada privilege yang bisa dijanjikan. Perubahan yang diciptakan membutuhkan waktu yang panjang. Kekuasaan dalam dunia kebudayaan ada dalam "moral force", kekuatannya ada dalam masyarakat madani, yang tahan berjarak dengan kekuasaan.
Inilah yang terlemah di Indonesia saat ini. Meskipun masyarakat civil tidak selalu pengusung keadilan, penuntut kesetaraan. Karena itu mudah dipahami jika telah terjadi banyak pergeseran. Civil society menjadi political society. Baik secara tersurat maupun tersirat. Apa saja dijual demi kekuasaan. Termasuk agama.
***
Pemuda Pengangguran Asal Kota Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H