Sebagai pilar keempat di negara demokrasi, televisi sebagai salah satu media massa diharapkan dapat menjadi anjing penjaga (watch dog) terhadap berbagai praksis sosial termasuk upaya pemberantasan korupsi. Apalagi secara umum orang akan mengingat 85 persen dari apa yang mereka lihat di televisi setelah tiga jam kemudian dan bahkan orang akan mengingat 65 persen tayangan televisi yang mereka saksikan setelah tiga hari ditayangkan (Alkhajar, 2011). Political and Economic Risk Consultancy (PERC) awal Maret 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se-Asia Pasifik dengan skor 8,32.
Kelebihan televisi untuk menampilkan pesan secara audio-visual menjadikan televisi semakin kuat kedudukannya di tengah keluarga. Selain itu, kekuatan media televisi dalam membentuk pemikiran, sikap, maupun perilaku masyarakat juga menjadikan berbagai peranan televisi, khususnya terhadap permasalahan korupsi di Indonesia semakin menguat.
Hal tersebut dapat kita rasakan saat ini melalui berbagai peningkatan upaya media televisi dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah sesaat setelah reformasi mengumandang, yang dibandingkan pada era sebelumnya, media massa tampak begitu “diam” berbicara mengenai korupsi. Arus demokratisasi yang kemudian lahir dan gentar disuarakan di segala lini kehidupan, membuat televisi juga menjadi salah satu media pencitraan “bebas korupsi” bagi aktor politik di Indonesia. Apalagi terprioritaskannya prinsip keterbukaan pemerintahan terhadap masyarakat guna meminimalisir praktek korupsi juga menjadikan media televisi berpeluang untuk berperan dalam menyalurkan informasi mengenai korupsi dan segala hal yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, berbagai peningkatan upaya tersebut diaktualisasikan ke dalam beberapa program siaran televisi yang pada akhirnya berkontribusi sebagai gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bagaimanapun televisi merupakan salah satu pengharapan bagi masyarakat guna mewujudkan terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Apabila metode penayangan bersifat solutif – menawarkan upaya problem solving guna meminimalisir kasus korupsi di Indonesia, sehingga fungsi-fungsi televisi yang digawanginya dapat tersalurkan dengan seutuhnya melalui pengemasan tayangan yang baik dan sesuai dengan target pemirsa yang dituju, bukan hanya fungsi hiburan saja yang menjadi prioritas – maka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan tujuan negara yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mampu tercapai.
Referensi
Muktiyo, Widodo, dkk. (2011). Anomi Media Massa. Surakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H