Semenjak aku kecil hingga saat ini, perihal lebaran dan larangan petasan adalah drama tahunan. Selalu seperti itu dan seperti itu.
Dari zaman dahulu, petasan memang dilarang karena membahayakan. Dulu tetanggaku ada yang salah satu jarinya harus dipotong karena kena petasan yang lumayan besar.
Saat aku kecil, main petasan saat Lebaran juga jadi rutin. Petasan yang kunyalakan adalah petasan kecil. Lebih kecil dari kelingking. Dulu kami menyebutnya "mercon rawit".
Jadi ketika malam takbiran atau malah saat akhir puasa, bunyi mercon rawit tak terbendung. Dulu aku membawa obat nyamuk bakar di tangan kiri dan petasan di tangan kanan.
Sumbu petasan ditempel ke obat nyamuk bakar yang sudah dinyalakan. Ketika percikan api muncul, mercon atau petasan langsung dilempar. Lalu bunyi "dor!".
Dasar anak kecil, yang dipikir hanya gembira. Ada temanku yang melempar petasan hampir mengenai kabel PLN. Wah kacau. Ketika diperingatkan ya hanya begitu. Cengegesan.
Begitulah di masa lalu. Sekalipun ada larangan, tetap saja petasan ada di mana-mana.
Nah saat malam takbiran lalu, polah bocah kecil anak SD juga aku lihat. Mereka menyulut petasan seperti yang aku lempar ketika kecil. Mereka pun melempar seenaknya sendiri.
Melempar ke depan rumah, ke taman, bahkan di dekat masjid. Mereka bersukaria. Yang tua tentu saja sudah memperingatkan. Bahkan dengan kata-kata yang menghentak. Tapi ya begitulah anak-anak. Diberi tahu, malah seperti disuruh.
Tahun depan, tahun depannya lagi, depannya lagi, mungkin akan sama. Akan ada larangan dan bocah tetap main petasan.