Kemarin, aku main ke rumah Darso. Biasa, aku main setelah Isya, sekadar ngobrol ke mana saja. Ditemani kopi dan tembakau. Juga ditemani tahu isi.
Sudah dua pekan ini Darso murung. Dia juga menerawang kosong saat aku ajak ngobrol. Dan akhirnya tumpah juga cerita itu.
"Aku memang seperti kucing dan anjing dengan anakku yang pertama itu, si Rais. Kami seperti tak pernah akur dan memang tak pernah akur," katanya padaku.
"Tapi aku ingat, bagaimana aku habis-habisan saat dia lahir, saat dia sakit waktu kecil. Aku habis-habisan untuknya. Semua aku korbankan agar dia lahir selamat dan dia sembuh dari penyakit," katanya.
"Tapi entah, ketika dia beranjak dewasa, kami seperti kucing dan anjing. Entah mengapa aku selalu ingin marah padanya. Entah mengapa dia juga tak pernah suka padaku," katanya.
Darso menyeruput kopi sembari menerawang kosong. Mulutnya masih saja bicara. "Sudah dua pekan dia pergi dari rumah ini. Dia sudah besar dan ingin jadi pelaut sesuai cita-citanya. Sehari sebelum dia pergi, kami pun masih terus bertengkar," kata Darso.
"Tapi saat dia mau pergi, dia cium tanganku. Mungkin itu kali pertama dia cium tanganku. Sembari bilang, 'bapak baik baik di rumah sama ibu dan Toni. Toni masih kecil pak', dia bilang seperti itu padaku," kata Darso.
"Kau tahu, pagi itu dia melangkah pergi dari rumah. Dia memunggungi kami untuk pergi. Ibunya sesenggukan. Ketika Rais melangkah pergi, aku melihat kakinya. Kaki yang dulu kecil berlari-lari di rumah. Sebenarnya aku tak tahan dengan perpisahan ini. Tapi aku laki-laki," katanya.
"Kau tahu, di almari itu, aku menyimpan satu bantal kecil milik Rais. Bantal bau bedak yang sengaja aku simpan. Istriku selalu mencarinya. Tapi aku bilang 'tak tahu'. Aku simpan terus bantal itu. Aku juga rutin beli bedak bayi. Sembari aku taburkan di bantal itu jika sudah mulai bau," katanya.
"Aku kemarin ambil bantal itu, aku baui seperti membaui Rais kecil. Kok gini amat ya. Aku mau nangis sebenarnya, tapi aku malu. Aku laki-laki," kata Darso.