Beberapa anak di desaku tertekan tak keruan. Tertekan di lingkungan permainan dan tertekan di sekolahan. Mereka tertekan karena terus dibully. Dibully habis-habisan oleh teman-temannya. Â Mungkin ada lima anak orang tak punya yang terus dibully.
Setiap protes dari para orangtua korban bully itu, selalu jadi angin lalu. "Nanti kita bahas," begitu saja jawabannya. Tapi tak pernah dibahas. Sebagian dari kami kasihan dengan anak-anak kecil usia kelas 1 SD tersebut. Dibully banyak anak.
Kemarin, aku main ke rumah Kang Tarno, tetangga beda RT. Sambil makan singkong rebus, aku menceritakan fenomena di kampung. Fenomena bully membully itu. Kau tahu? Kang Tarno tidak kaget dengan fenomena itu.
"Anak yang membully itu kan ada 10 anak. Mereka anak dari Tedi, Budi, Karman, Soni, Indra, Manan, Deni, Karso, Ali, Karwo," terjang Kang Tarno.
"Kok tahu?" tanyaku.
"Ya tahulah. Anak pembully itu karena memang si anak dapat makan dari uang ngga beres. Aku tahu semua mereka. Saat istrinya hamil, mereka dapat uang dari mana saja," kata Kang Tarno.
"Tedi dan Karman itu tukang palak. Bilangnya membantu pengamanan. Faktanya cuma malaki pedagang di pasar," kata Kang Tarno.
"Budi dan Soni, dia tak punya hak atas tanah dan wilayah. Tapi dia buat parkiran di situ. Setiap orang yang parkir diminta duit. Uang masuk saku sendiri. Tanah milik pemerintah, dia buat parkiran, tak setor pemerintah pula," kata Kang Tarno.
"Indra dan Manan. Kamu masih ingat kisaran tujuh atau delapan tahun lalu, desa kita ada pengaspalan? Itu duit aspal dimakan Indra dan Manan. Nilainya gede. Uang itu untuk memberi nafkah istri dan calon anaknya waktu itu," ujar Kang Tarno.
"Deni dan Karso itu tukang menampung bantuan pemerintah. Yang dia sebar ke masyarakat kan berkurang. Selalu seperti itu. Bahkan, mereka sering meminta uang lelah. Kacau mereka itu. Duitnya untuk menafkahi istri yang sedang hamil," ujar Kang Tarno.