Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie sedang berproses, menyidangkan perkara dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK. Persidangan MKMK ini muncul bermula dari putusan MK tentang syarat capres-cawapres yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka.
Gibran adalah anak dari Presiden Jokowi. Gibran adalah keponakan dari ketua MK Anwar Usman. Tentu saja putusan MK yang memberi jalan pada Gibran membuat sang paman yakni Anwar Usman jadi sorotan.
Nah, dalam sidang MKMK yang tadi pagi saya lihat, ada permintaan dari pemohon Denny Indrayana. Denny adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Dari yang saya tangkap, ada dua hal yang diminta Denny pada MKMK. Pertama memberhentikan secara tidak hormat hakim konstitusi Anwar Usman. Kedua meminta MKMK mengoreksi putusan MK terkait syarat capres-cawapres.
Permintaan kedua itulah yang menarik perhatian saya. Apakah mungkin MKMK mengoreksi putusan MK? Padahal putusan MK bersifat akhir dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum lanjutan atas  putusan MK.
Hal itu berbeda dengan perkara pidana di peradilan umum. Jika tak puas di tingkat pertama, bisa banding. Tak puas di tingkat banding, bisa kasasi. Tak puas di kasasi bisa ajukan peninjauan kembali.
Maka, sekali lagi apakah bisa MKMK mengoreksi putusan MK? Ya tentu tak bisa karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
Tapi mungkinkah MKMK melakukan terobosan? Entahlah. Jika menengok MK, Â MK beberapa kali melakukan terobosan. Misalnya MK yang harusnya menolak atau menerima permohonan, justru membuat norma baru UU. Padahal norma baru adalah kewenangan pembuat UU.
Apakah MKMK di bawah Jimly Asshiddiqie akan membuat terobosan "menggemparkan" dengan mengoreksi putusan MK? Sekali lagi entahlah.
Tapi saya masih ingat, beberapa kali ketika masih menjabat sebagai Ketua MK, Jimly melakukan banyak terobosan melalui putusannya.