Beberapa  hari lalu aku menyambangi rumah Karman, lelaki yang oleh banyak orang dikatakan tidak waras.  Tapi aku juga sering main ke rumah Karman. Sehingga, banyak juga yang bilang bahwa aku sebentar lagi ikut tidak waras.
Aku mendatangi Karman karena dia tak membahayakan. Omongannya kadang mengejutkan, kadang juga tak keruan. Tapi beberapa perilakunya mirip orang pada umumnya. Tetap berpakaian bersih, tetap mandi, dan ketika ada tamu disuguhi minuman. Karman masih tahu duit.
Aku mendatangi rumahnya hanya sekadar hiburan. Orang tak waras kadang memang lebih manusiawi. Setidaknya, tak suka makan teman.
Nah, pagi itu, ketika aku libur kerja pabrik, aku datangi Karman. Pagi hari sembari menyedot tembakau dan menyesap kopi yang masih berasap, Karman nongkrong di teras rumahnya. Di rumah itu, hanya ada Karman. Sementara, orangtuanya sudah meninggal. Tiga saudaranya sudah sukses.
Begitu aku disuruh duduk, Karman masuk ke dalam rumah. Kembali ke teras dengan membawa buku yang sudah dia corat-coret.
"Ini Dul, profesi yang punah karena pekerjanya banyak yang licik," kata Karman sembari memperliihatkan padaku list profesi yang punah.
"Tapi ini rahasia. Kamu tak boleh menyebutkan ini pada orang lain. Pokoknya rahasia," kata Karman.
Karena aku memegang omongan Karman yang kurang waras itu. Aku tak bisa menuliskan di sini profesi apa saja yang punah karena pekerjanya licik.
"Kamu tahu Tono kan? Dia kan kerja di profesi ini (Karman sembari menunjuk tulisan profesi di bukunya). Dia kan licik Dul. Suka ngambil duit orang. Teman-temannya yang satu profesi dengan dia juga banyak yang licik. Akhirnya profesinya punah," kata Karman padaku.
"Ada lagi Marto. Dia itu kan profesinya ini  (Karman sembari menunjuk tulisan profesi di bukunya). Dia itu kalau bilang jual barang A, tapi isinya B. Kamu tahu kan yang profesinya seperti Marto. Banyak yang licik. Akhirnya profesi itu punah," kata Karman padaku.