Karman menyebut beberapa orang lain dengan profesinya yang juga sudah punah. Pasalnya, banyak pekerja di profesi itu yang licik, culas, menipu, cari untung dengan mengorbankan orang lain.
Aku kemudian tak kuat, sembari membuang gas, aku bertanya ke Karman. "Kenapa bisa begitu Man?" tanyaku.
"Tadi suara apa itu Dul?" kata Karman mempertanyakan gas yang baru saja aku buang.
"Kok ada bau bangkai ayam ya?" kata Karman yang mulai curiga dengan gas yang aku buang.
"Gimana Man?" tanyaku kembali.
"Ya profesi itu punah karena banyak pekerjanya yang licik. Kamu tahu ketika orang-orang itu melakukan kelicikan, maka apa yang ada di sekitarnya lapor pada Tuhan," kata Karman serius.
"Tembok, angin, udara, daun, tiang listrik, kursi, meja, semua menjadi saksi kelicikan manusia itu. Mereka yang menjadi saksi kemudian berdoa pada Tuhan karena kecewa dengan kelicikan manusia itu. Bayangkan jika tembok bilang ke tembok yang lain. Bayangkan angina bilang ke angin yang lain. Kemudian mereka serentak mendoakan agar orang itu celaka," kata Karman lebih serius.
"Apa iya Man, mereka bisa berdoa? Bisa saja yang berdoa adalah manusia yang dikecewakan?" tanyaku.
"Sori Dul. Sekarang orang yang dikecewakan mau berdoa, apa nyampai doanya. Wong yang dikecewakan juga kotor. Â Doanya tak mempan Dul. Manusia sekarang banyak yang kotor, termasuk aku dan kamu. Nah kalau tembok, angin, air, tiang listrik, itu kan tidak kotor hatinya. Doanya gampang sampai," kata Karman.
"Apa benda-benda dan zat itu punya hati?" tanyaku.
"Ya punya lah. Cuma kan kita tak tahu hati mereka ada di mana?" kata Karman.