Tak ada yang lebih penting dari musala dan olahraga. Itulah kampungku dahulu.
Musala jadi pusat peradaban. Mengaji di musala, salat di musala, tidur kadang di musala, nongkrong di musala, kumpulan remaja kadang di musala.
Pernah bermusik, tapi pakai  rebana. Tentu saja pusatnya di musala. Berselawat pakai rebana berlangsung di musala.
Musala jadi pusat peradaban. Saat musala jadi pusat peradaban, maka minimal kami akan sering tidak berkata kotor.
Adabnya di tempat ibadah memang tak pantas berkata kotor. Ketika peradaban terbentuk di musala, minimal kami adalah kumpulan orang yang jarang berkata kotor.
Selain musala, ada tanah lapang. Olahraga adalah salah satu denyut kampungku di masa lalu. Khususnya sepak bola. Sebab, di kampungku ada lapangan sepak bola, ada juga lapangan voli.
Itu adalah denyut nadi kedua dari kampungku. Jangan heran jika fisik anak-anak kampungku sehat-sehat. Kecuali aku yang sering sakit.
Jadi, cara mencari anak-anak kampungku waktu itu sangat gampang. Kalau tak di musala ya di lapangan sepak bola atau bola voli.
Tapi sebagian cerita itu sudah jadi kenangan. Sebab, lapangan sepak bola dan bola voli sudah tak ada lagi. Sudah berganti fungsi.
Hanya musala yang masih bertahan. Tapi, zaman memang sudah berubah. Orang-orang berubah. Tak perlu lagi kuceritakan seperti apa musala pada umumnya di saat ini.