Ini ceritaku sendiri dan berapa orang. Cerita saat jadi buruh di Jakarta. Bagiku, saat jadi buruh di Jakarta, paling gagah adalah momen saat mudik.
Mudik Lebaran di kampung ketemu banyak orang. Lalu sapaan dengan kesan status yang agak tinggi bermunculan. Beberapa sapaan atau pembicaraan misalnya begini:
"Wah ada orang Jakarta nih!"
"Makin sejahtera ya di Jakarta?"
"Enak ya di Jakarta, terlihat tambah gemuk, tentunya sejahtera."
Jadi orang yang populer karena status kerja di Jakarta. Agak gemuk dikatakan sejahtera. Ya tak apa-apa. Orang yang dulu jarang nyapa, jadi lumayan sering nyapa.
Maka mudik adalah momen seorang buruh Jakarta bisa sedikit bahagia. Dihargai orang, populer, jadi rujukan bagi orang lain untuk ikut meraih bahagia di ibu kota.
Padahal, aku ngakak sendiri. Ketika jadi buruh ya tetap buruh. Mendapat tugas ini dan itu. Melakoni kerja-kerja yang kadang tak masuk akal tapi tetap harus dilakukan karena perintah atasan.
Memeras keringat dan hati untuk kehidupan keras demi sesuap nasi. Kepala yang cenderung sering panas karena terus dipaksa untuk berpikir tanpa henti.
Kalau agak gemuk, ya karena pola hidup tak sehat. Pulang malam, makan nasi goreng, lalu tidur. Gimana tidak gemuk kalau pola hidupnya seperti itu.