Dulu saat aku masih kecil tahun 80-an yang sering muncul adalah "hormatilah yang berpuasa". Lalu, sejak sepuluh tahun belakangan, mulai muncul "hormatilah yang tidak berpuasa".
Dua frasa itu terasa berbeda. Tapi dua frasa itu baik jika dipakai dengan hati bersih, tidak egois, tidak memaksakan. Kalau dipakai dengan kebencian, ya dua-duanya tak akan baik.
Frasa "menghormati yang berpuasa" tentu baik untuk mereka yang sedang tak berpuasa. Misalnya mereka yang tak puasa, tak perlu demonstratif saat bulan Ramadan, khususnya di daerah yang mayoritas orangnya berpuasa.
Contohnya ya tidak makan minum secara demonstratif di tengah masyarakat yang berpuasa. Toh makan dan minum kan tujuannya untuk perut, jadi tak perlu demonstratif di hadapan orang yang berpuasa.
Tentu ini baik, artinya orang yang tak puasa bertoleransi pada mereka yang puasa. Khususnya di daerah yang mayoritas warganya berpuasa.
Kalau mayoritas warganya tak berpuasa, ceritanya tentu berbeda. Apalagi warga mayoritas tak berpuasa dan warga mayoritas tak tahu bahwa ada ritual berpuasa di masa Ramadan.
Frasa kedua bahwa hormatilah yang tak berpuasa, bagi saya konteksnya bukan menghormati orang yang demonstratif makan minum di hadapan orang berpuasa, khususnya di daerah yang mayoritas berpuasa.
Hormati yang tak berpuasa bagi saya adalah, tetap memberi ruang bagi orang tak berpuasa untuk tidak berpuasa.
Misalnya, warung makan tetap buka di bulan Ramadan. Artinya, orang yang tidak puasa pun bisa makan. Apalagi orang yang tak berpuasa ini dalam perjalanan. Sehingga butuh makan. Maka warung tetap perlu buka.
Warung makan buka pun ada baiknya menggunakan frasa "hormati yang berpuasa". Â Misalnya dengan memakai tabir di depan warungnya tapi tetap memberi tanda bahwa warung itu tetap buka.