Membayangkan anak-anak hanya bermain sepak bola sembari bergembira dan berolahraga. Tapi mereka tak mau jadi pemain sepak bola profesional.
Sebab, mereka sudah dapat cerita dari orangtuanya. Cerita bahwa sepak bola profesional di Indonesia sudah tak menarik untuk diselami. Bukan hanya tak menarik, tapi bikin muntah.
Membayangkan orang-orang tak mau lagi pergi ke stadion untuk nonton bola. Mereka sudah jenuh dengan sepak bola yang tak kunjung sehat.
Mereka yang biasa nonton bola itu, kini jadi kumpulan orang yang bergerak untuk kebaikan. Kadang mengumpulkan sampah, kadang membantu orang sakit, dan kegiatan kemasyarakatan lain, tanpa minta upah. Seperti mereka mendukung timnya dahulu, tanpa minta upah.
Membayangkan tak ada lagi orang yang mau jadi sopir untuk membawa klub berkeliling bertanding kompetisi profesional. Sebab sopir pun juga males bergesekan dengan sepak bola Indonesia.
Membayangkan sponsor sudah enggan menjadi sponsor sepak bola Indonesia. Sebab, sudah tidak ada yang menonton sepak bola. Ngapain jadi sponsor kalau tak ada yang nonton.
Tak ada lagi televisi yang mau menyiarkan langsung sepak bola. Sebab, tak ada yang mau nonton sepak bola Indonesia. Sebab, aspek non olahraga terlalu mengintervensi.
Membayangkan tak ada lagi pemain asing yang mau main di Indonesia. Dibayar triliunan rupiah pun tetap tak mau. Mereka enggan berkubang dengan sepak bola Indonesia.
Jika seperti itu, lesulah sepak bola Indonesia. Sebab kekecewaan yang mendalam dari semua lapisan masyarakat. Kecewa dengan tata kelola sepak bola Indonesia.
Siapa tahu kemudian yang mengemuka latto-latto. Kemudian latto-latto menjadi kompetisi dengan bisnis yang menggiurkan.