Saat masih sering berteater, tempat kumpul kami memiliki tulisan "ruang bebas berekspresi". Lalu, seorang senior bilang ke aku.
"Ini adalah ruang bebas berekspresi. Ada ruangnya untuk berekspresi. Jika keluar dari ruang ini, maka istilah 'ruang bebas berekspresi' bisa tak laku lagi," kira-kira begitu kata senior.
Sederhananya, bebas berekspresi itu ada ruangnya. Ruang itu sudah jadi kesepakatan bersama para penghuninya. Kamu bebas berekspresi di ruang itu.
Ketika keluar dari ruang itu, maka bebas berekspresi masih jadi tanda tanya. Jika semua orang yang tak ber-ruang itu menyepakati bebas berekspresi, maka bebas berekspresilah.
Tapi jika semua orang yang tak ber-ruang itu beragam, maka hati-hatilah berekspresi. Bisa-bisa ekspresimu dimaknai sebagai pelecehan.
Nah, dunia maya alias internet, media sosial dan sejenisnya itu, sejatinya bukan ruang. Sebab, semua orang bisa mengaksesnya.
Aksimu di dunia maya sebagai orang Indonesia, diketahui oleh orang Amerika, Argentina, Brazil, dan sebagainya. Artinya, aksimu ditonton orang banyak yang bahkan tak memiliki kesepakatan.
Aksimu di dunia maya, bisa dilihat oleh orang yang merenung di taman di Istanbul. Aksimu di dunia maya bisa dilihat oleh orang yang sedang melamun di Accra. Â
Padahal, budaya di tempatmu, mungkin beda dengan tempat lainnya. Kebiasaan di tempatmu mungkin beda di tempat lainnya.
Kata-kata biasa di komunitasmu, bisa jadi adalah kata-kata bermasalah bagi komunitas lainnya.
Dunia maya memungkinkan kita mengakses ketidaksamaan itu. Dunia maya memungkinkan kita mengakses perbedaan itu.