Daerah yang kini masuk wilayah Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas pernah dilanda banjir dahsyat setinggi 3,5 meter. Musibah itu terjadi sebelum Indonesia merdeka yakni pada 1861. Masa di mana Banyumas dan daerah lainnya sedang gencar dieksploitasi Belanda melalui sistem tanam paksa.
Musibah itu telah membuat 300 warga meninggal dunia. Saya membaca sejarah ini dalam buku, Â Life in Java: With Sketches of the Javanese terbitan 1864, tulisan William Barrington d'Almeida. Buku itu bisa dicari di google scholar. Tapi aku juga lihat sudah ada versi Indonesianya, terbitan kekinian.
William tidak mengalami langsung musibah banjir itu. Dia hanya mendapatkan cerita dari petinggi Banyumas tentang banjir besar itu. William bertemu dengan petinggi Banyumas setahun setelah banjir terjadi.
Tak terlalu banyak deskripsi tentang banjir besar itu. Mungkin karena William tak merasakan atau melihat langsung. William menuliskan, mereka yang selamat adalah yang naik ke gedung berlantai lebih dari satu di kisaran pusat pemerintahan.
Tapi, sebenarnya bukan soal banjirnya yang ingin aku sampaikan. Ketika membaca buku "Life in Java: With Sketches of the Javanese", aku hanya berpikir bahwa ada orang Inggris keliling Jawa dan memotret fenomena melalui tulisan.
William juga memotret melalui tulisan tentang orang Dieng, Jawa Tengah ketika galau. Mereka tidur di luar rumah di malam hari yang pastinya dingin karena Dieng adalah dataran tinggi. Tidur di luar rumah dengan ancaman gas beracun.
William tak mendokumentasikan dengan sangat baik. Sebab, tulisan itu tak terlalu mendalam. Tapi dia mampu menuliskan gambaran orang Jawa di masa itu dan dibukukan!
Saya yang hidup di Jawa, mengetahui sekelumit banjir dahsyat di masa lampau itu salah satunya juga dari tulisan William. William adalah orang yang mendokumentasikan masa lalu, agar bisa jadi cermin bagi banyak orang.
Maka, kadang aku merasa jengah ketika di negeri ini, tak ada dokumentasi memadai tentang cerita penting di masa lalu. Atau justru dokumentasi itu dimiliki orang asing.
Dokumentasi yang lemah membuat kita berpotensi tak tahu masa lalu. Ketika tak tahu masa lalu, kita bisa berpandangan bahwa semua hal masa lalu baik-baik saja.