Beberapa bulan lalu, orang kampungku rapat. Rapat untuk memilih perwakilan RT agar maju menjadi calon "pejabat" desa.
Ceritanya, setiap RT diminta mengusulkan calonnya. Dari calon tiap RT itu, kemudian ditarungkan dalam bentuk pemilihan. Nantinya peraih suara terbanyak akan jadi "pejabat" di desa.
Ada satu tetangga bicara bahwa, RT kami tinggal mengajukan nama saja. Siapa saja yang mau dan bisa diusulkan jadi calon untuk bertarung di pemilihan.
Mendengar pernyataan tetangga itu, salah satu orang tua di kampungku buka suara dengan lantang.
"Ya tentu kita majukan calon kita. Tapi jangan asal maju. Kita pilih calon yang berpotensi bisa berkompetisi. Ngapain pilih calon yang di sana jadi bahan tertawaan karena sudah pasti kalah. Kan kita malu," kira-kira begitu suara lantang seorang sesepuh.
Karena si sesepuh ini berbicara keras dengan gesture yang bikin tertawa, sebagian dari kami tertawa. Sebagian dari kami terdiam berpikir.
Si sesepuh kembali mengulangi. "Ngapain mencalonkan orang yang bakal digebuki di sana. Digebuki perolehan suaranya maksudnya. Kalah telak. Kalah telak karena tak memiliki kompetensi, tak punya rekam jejak yang gemilang," katanya kira-kira seperti itu.
"Istilahnya, kita mengajukan jago yang di sana hanya diam saja dipatuki yang lainnya," kata pak tua kembali membuat tertawa.
"Jadi, kalau rekam jejaknya tak istimewa apalagi buruk, tak populer, tak memiliki kompetensi yang memadai, ngapain dimajukan jadi calon? Malu-maluin saja," kata pak tua yang membuat kami terdiam.
Saya yang sebenarnya tak tertarik dengan pilih memilih seperti itu, jadi kepikiran. Kepikiran bahwa soal pilih memilih jangan asal-asalan.