Zaman sudah berubah. Guru sekarang tak seperti dulu. Guru zaman sekarang sepertinya jarang yang "keras". Sebab, jika "keras" ada kemungkinan didemo.
Dulu sewaktu aku masih sekolah di tahun 80-an dan 90-an, guru galak selalu ada. Saat kelas 2 SD, guru super keras aku temui. Murid harus tenang, tak boleh berisik saat pelajaran berlangsung.
Jika berisik, kapur tulis melayang, penghapus juga melayang. Pengapus yang penuh dengan serpihan kapur, yang panas itu. Jika ada teman yang kena penghapus melayang, yang lainnya tegang.
Jangan harap penghapus melayang dengan aba-aba. Penghapus melayang tiba-tiba. Jangankan penghapus melayang, ada kalanya teman yang berisik didatangi sang guru.
Lalu, muka si teman dibedaki dengan serpih kapur yang ada di penghapus. Lihat badut berbedak kapur, yang lain cekikikan, termasuk aku.
Jika hari Senin, sebelum pelajaran dimulai, tangan disodorkan di atas meja. Guru olahraga jadi algojo. Jika ada tangan yang ujung kukunya belum dipotong, maka dipukul pakai penggaris kayu. Linu booooss! Yang lain cekikikan tertawa.
Saat SMP, operasi rambut kadang mendadak dilakukan. Seorang guru dengan suara berat jadi pemburu. Di waktu istirahat dia beroperasi.
Jika ada anak laki-laki rambut gondrong sedikit yang menutupi telinga langsung dieksekusi. Di samping lapangan, tempat terbuka, rambut dibabat sesuka hati. Kres...kres.... Yang dibabat rambutnya tentu malu, sementara siswa yang lainnya tertawa cekikikan.
Saat SMP juga, ada guru yang menurutku baik. Tapi dia guru baru, jadi olok-olok anak baru gede di SMP. Tentu olok-oloknya sembunyi-sembunyi.
Satu ketika, seorang siswa yang sering olok-olok sembunyi, keceplosan di dalam kelas saat pelajaran. Si siswa itu temanku sekelas, jadi aku ingat momennya.
Si guru sudah gondok, akhirnya temanku disuruh maju. Pak guru melayangkan tamparannya, tapi temanku mengelak, tak kena. Begitu muka temanku kembali ke posisi semula, tamparan backhand pak guru terdengar keras mengenai pipi. Aku mendukung pak guru. Anak tak tahu adab harus kena begituan.
Saat SMA, upacara Senin kadang jadi momok. Anak yang tidak berdiri tegak, bakal kena tendangan guru. Aku pernah kena tendang di bagian betis. Ditendang dengan ujung sepatu kulit.
Kaki menekuk sedikit saja, jika ketahuan seorang guru itu, maka kena tendang. Tendangannya dari belakang. Mengagetkan dan sakit tentunya.
Jika ketahuan tertawa saat upacara hari Senin, pukulan dari guru itu bisa melayang. Temanku pernah kena pukul. Dipukul lengannya. Jadi, ada seorang guru yang berpatroli di belakang barisan upacara hari Senin. Siap menghajar anak-anak yang berisik dan tak tegak berdiri.
Tentu tak semua guru seperti itu. Tak semua guru killer dan keras. Tapi zaman itu, guru keras seperti itu sudah biasa. Zamannya memungkinkan adanya fenomena seperti itu.
Kini, kalau ingat ya hanya tertawa sendiri. Tak sakit hati. Orang dahulu memang keras. Ya seperti itulah fenomenanya.
Tapi dulu seingatku tak ada hadiah pada guru saat kenaikan kelas. Naik kelas ya naik kelas saja. Orangtua murid satu dengan lainnya ya lebih banyak tak kenal. Wong zaman dahulu tak ada grup WA.
Orangtua murid ke sekolah hanya saat ambil rapor. Setelah itu pulang. Tak ada pembahasan memberi hadiah pada guru. Seingatku sampai aku selesai SMA, tak ada hadiah pada guru.
Guru zaman itu tak sesejahtera sekarang. Dulu tak ada sertifikasi. Kalau mau lihat guru masa lalu ya film "Sang Guru" yang dimainkan dengan apik oleh pelawak S Bagio, bisa jadi referensi. Atau lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals cocok dengan realitas masa lalu.
Sudah gaji tak besar, tak dapat hadiah dari murid. Muridnya juga ada yang bengal. Bengalnya minta ampun. Catat ya, guru di masa lalu sekalipun PNS juga gajinya pas-pasan. Wong ada guruku dengan status PNS di masa lalu, nyambi kerja lain.
Kalau sekarang, guru dengan status PNS sepertinya jadi buruan. Sebab lebih sejahtera. Jika pun ada yang honornya tak seberapa, itu biasanya guru honorer.
***
Lalu bagaimana jika guru dapat hadiah dari orangtua murid? Ya tak apa-apa. Asal bukan gurunya yang ngebet minta hadiah, tapi orangtua murid yang berniat memberi hadiah. Hadiahnya ya sewajarnya, buka hadiah mobil atau motor.
Aku tak ingin memberi inspirasi segala kekerasan di dunia pendidikan. Tapi, hanya menggambarkan fenomena. Juga menjelaskan bahwa zaman berbeda memberi konsekuensi pendidikan yang berbeda, termasuk outcame si anak didik, juga akan berbeda. Sepertinya begitu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H