Teknologi memang tak punya perasaan. Siapa yang tak akrab dengan teknologi, maka akan tertinggal. Ketika teknologi tak punya perasaan, maka manusia harus bisa menggunakan perasaannya.
Manusia yang membuat kebijakan harus bisa memandang lebih kompleks realitas di negeri ini.
Sebab, tak semua akrab dengan teknologi. Tak semua warga akrab dengan telepon genggam pintar. Bahkan ada daerah yang susah sinyal.
Saat baca berita tentang e KTP digital, Pak Zudan dari Kemendagri memberi penjelasan. Jika mau membuat e KTP digital ya harus punya HP pintar dan ada sinyal.
Bagi orang kota besar, HP pintar bukan barang yang asing. Orang di kota besar sepertinya akrab mengoperasikan HP. Tapi bagaimana dengan di desa?
Saya tak mau menggeneralisir desa. Tiap desa berbeda-beda. Tapi saya paham dan tahu, sebagai orang desa, bahwa banyak tetangga saya yang tak akrab dengan HP, khususnya mereka yang usia kepala lima ke atas.
Kehidupan mereka yang tak punya HP, tak terlalu berubah dengan tahun 80-an. Mereka saling janjian dengan keyakinan dan insting. Tak ada mengirim pesan singkat melalui HP.
Beberapa waktu lalu ketika main-main di daerah lain dan ngobrol dengan petani, si bapak petani ini punya HP. Tapi HP jadul yang hanya bisa untuk sms dan telepon.
Ada juga di desa lain bertemu orang kepala enam yang tak punya HP.
Saya hanya ingin mengatakan, realitas Indonesia itu kompleks. Indonesia beda dengan Singapura atau Brunei Darussalam yang wilayahnya lebih kecil.
Indonesia juga bukan hanya Jakarta. Indonesia tak bisa dipandang dari Jakarta. Jika kebijakan selalu berbasis Jakarta, maka jangan heran jika ketimpangan menjadi-jadi. Jakarta itu kota yang berfasilitas maksimal, sementara tak semua daerah di Indonesia punya fasilitas maksimal.
Lalu apa?