Saya punya seorang guru unik saat masih SMA dulu. Beliau adalah guru kesenian dengan perawakan tinggi dan awalnya terlihat berwibawa.
Saat pertama kali masuk kelas, dengan suara menekan meminta kami mengeluarkan buku, menulis nama dan nomor absen. Bawaan kami semua tegang ketika beliau pertama kali masuk kelas.
Setelah kami menulis nama dan nomor absen di buku itu, ternyata buku itu tidak diapa-apakan. Pak guru mulai mendongeng.
Lima menit mendongeng, kami mulai rileks. Menit-menit setelahnya kami mulai bisa tertawa. Pak guru kesenian ini telah membuat ruang kelas rileks dan kadang tertawa dengan ceritanya.
Setelah itu, pak guru yang namanya saya rahasiakan ini, selalu bercerita di kelas tiap kali pelajaran. Berceritanya macam-macam. Beliau pernah bercerita soal rasa sakit usai meluncur di air terjun.
"Tuiing, byur. Wah punggungnya seperti remuk, lemes saya," katanya kira-kira begitu.
Sekali waktu cerita bagaimana dia melatih bernyanyi anak-anak gereja.
"Ada anak paduan suara yang suaranya tidak keluar alias suaranya pelan. Lalu saya datangi anak itu saya lihat dengan mata tajam. Si anak itu langsung mengeluarkan suara yang keras, sampai urat lehernya kelihatan. Ketakutan ternyata hehehe," kata pak guru yang membuat kami tertawa.
Beliau juga pernah dengan nada menekan meminta kami jadi orang yang memburu pengalaman. "Jangan sampai lahir di sini, sekolah di sini, kerja di sini, mati di sini. Pergilah ke tempat lain, lihat dunia," katanya.
Mungkin itulah yang membuat kami akhirnya berhamburan entah ke mana. Banyak dari kami meninggalkan tempat tinggal kami dan merantau, termasuk saya.
Jadi pak guru kesenian ini selalu bercerita. Cerita apa saja ketika di kelas. Uniknya kami menyimak dengan seksama. Setidaknya kelas kami tak gaduh.
Lalu bagaimana dengan pelajaran? Beliau hanya memberi materi pelajaran 10 menit sebelum jam pelajaran selesai. Salah satu yang aku ingat adalah, menghambar ukir-ukiran.