Ilustrasi parkir. Foto: Kompas.com/Sherly Puspita
Aku harus akui tukang parkir itu macam-macam. Ada yang rajin, ada yang asal-asalan. Ya sebenarnya sama dengan pekerjaan lain. Pekerja kantoran juga begitu. Ada yang rajin dan ada yang asal-asalan.
Aku menemui satu tukang parkir yang serius. Tukang parkir di pasar desa. Dia selalu meminta agar motor jangan dikunci setang. Kadang khawatir jika begitu. Tapi pasar desa ya pengunjungnya orang-orang situ saja yang relatif dikenal. Jika ada orang asing, maka akan ketahuan.
Motor tak disetang agar mudah diatur. Selain meminta motor jangan dikunci setang, dia juga akan memberi jalan pada motor yang akan keluar. Dia juga mengubah posisi motor yang akan keluar. Singkat kata, dia rajin jadi tukang parkir.
Tapi, yang namanya tukang parkir ya macam-macam. Salah satunya tukang parkir yang dadakan ada di satu tempat. Tempat yang mulanya tak ada tukang parkir, kemudian ada tukang parkir.
Ceritanya, teman saya ini adalah ketua RT. Dia tentu jadi tempat mengadu bagi para warganya. Salah satu warganya yang punya pasien banyak, mengeluh karena mulai ada tukang parkir. Padahal, dulunya tak ada tukang parkir.
Ternyata juga, tukang parkir itu orang asing. Bukan orang kampung situ. Curhatlah si warga pada teman saya. Si warga ingin agar tak ada lagi tukang parkir karena dikeluhkan para pasiennya.
Teman saya ini kemudian memanggil tukang parkir yang orang asing itu secara baik-baik. Ditanyalah mengapa buka lapak di RT-nya, tanpa izin pula. Ternyata, dia hanya disuruh oleh orang "kuat" di situ. Selain itu juga diminta setor ke orang "kuat" itu.
Teman saya ini kemudian memutuskan agar si tukang parkir jangan lagi beroperasi. Tentu saja orang "kuat" itu meradang. Selang beberapa hari kemudian, di malam hari, cekcok adu mulut dan ancaman meluncur dari orang "kuat" itu pada teman saya.
Tapi orang "kuat" itu lupa bahwa teman saya juga punya massa. Di malam itu cekcok menarik perhatian. Baku pukul hampir terjadi. Tapi orang "kuat" itu memilih pergi ketika teman dari teman saya menantang duel.