Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah cerita beberapa tahun lalu. Saya punya seorang teman yang bekerja di koran untuk bagian periklanan.
Jadi, si teman ini kerjanya adalah mencari iklan untuk koran. Dia ke sana ke mari mencari klien periklanan. Jika sudah dapat iklan, maka konten iklan itu ditempatkan di koran pada halaman tertentu.
Yang namanya iklan ya macam-macam. Kadang dia dapat iklan dewasa. Misalnya cara memperpanjang dan mengeraskan bagian vital lelaki.
Nah dia bercerita, sebenarnya tak ada aturan resmi tentang penempatan iklan dewasa pada sebuah koran. Mau ditempatkan di halaman 1, 2, 3 koran tersebut tak ada aturan yang pasti.
Namun, ada semacam kesepakatan internal koran itu, bahwa iklan dewasa jangan ditempatkan di halaman atau rubrikasi pendidikan atau keagamaan. Kenapa? Katanya kalau iklan dewasa ditempatkan di halaman atau rubrikasi agama atau pendidikan, tidak enak dilihat.
Teman saya ini tidak bisa menjelaskan secara gamblang. Tapi, saya secara nurani juga paham kenapa iklan dewasa tak ditempatkan di rubrikasi keagamaan atau pendidikan.
Kata teman saya, iklan dewasa itu dimasukkan ke halaman kriminal saja atau dimasukkan ke halaman khusus iklan. Menurutnya, itu lebih pas. Teman saya tak bisa memberi penjelasan secara gamblang kenapa iklan dewasa dimasukkan ke halaman kriminal atau khusus iklan. Sekalipun tak dijelaskan secara gamblang, saya memahaminya.
Hidup memang kadang begitu. Jika kita memiliki nilai yang sama, sekalipun tak ada penjelasan yang gamblang, kita bisa sama-sama paham.
Nah fenomena di atas adalah fenomena perkoranan. Koran terbagi dalam halaman-halaman. Sehingga, ada penempatan yang tepat untuk tiap halamannya.
Nah, saat ini iklan dewasa tidak di koran, tapi di dunia maya. Entah itu di media massa online atau media sosial atau yang lainnya.
Yang kemudian beberapa kali saya lihat, ada konten agama tapi ada iklan dewasanya. Pernah saya coba buka tulisan keagamaan di dunia maya. Tapi di situ ada juga iklan dewasa. Hehehe. Jadi gimana gitu.