"Apa salahku?" kata Tarno sembari menahan bara.
"Aku tidak mencintaimu, tak pernah mencintaimu," kata Dewi.
"Mas silakan pergi dari sini. Semua baju mas sudah aku kemas," tambah Dewi.
Tarno tak bisa  marah karena Dian, putri kecilnya itu sedang terlelap. Dia ambil semua bajunya. Dia berkemas dan pergi dari rumah.
"Jika kau sudah nikah dengan Anton, berikan Dian padaku. Jangan sampai benihku mengganggu hidupmu," ucap Tarno.
Desas desus setelah kematian bapak dan paman itu ternyata ada benarnya. Dewi, sang bidadari itu telah berubah wujud menjadi petaka. Dia memadu kasih dengan Anton, lelaki kaya, tampan, dan memiliki banyak pengetahuan.
Di petang itu, sembari berlari entah ke mana, Tarno berteriak sekencang-kencangnya. Dia meluberkan air matanya. Diterjang hujan deras, Tarno berlarian dengan harapan yang lenyap dalam sekejap. Dia nyaris gila. Cintanya pergi, dengan sengkarut cerita yang tak dia nyana.
 ***
Sejak badai itu, Tarno memilih hidup di pinggiran kota. Hasratnya untuk kembali menikah sudah sirna. Hari-hari repot tetap dia jalani karena Dian akhirnya dia terima. Dian dia terima dua bulan setelah perceraiannya dengan Dewi tuntas secara hukum.
Dia harus memandikan dan menyuapi Dian yang sedang lucu-lucunya. Setelah ritual pagi itu selesai, dia menitipkan Dian ke salah satu tetangga yang dia yakini baik orangnya, Bu Sumi namanya. Tarno seperti biasa akan kerja dari satu proyek ke proyek lainnya.
Sejak badai dan pengalamannya mengurus dua lelaki itu, Tarno menjadi makin ingin menjadi malaikat. Kerja, urus Dian, beribadah, dan aksi sosial. Â Dia sering menyempatkan diri menjadi sukrelawan pada Panti Jompo. Dia hanya ingin menjadi orang yang bisa membantu sesama yang kepayahan.