Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Drama Vialli dan Olimpiade, Dag Dig Dug karena Cinta Akut

3 Agustus 2021   05:55 Diperbarui: 3 Agustus 2021   05:58 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan status legenda dan biasa merasakan atmosfer final, Vialli pun gugup. Dia dag dig dug. Dia tak sanggup melihat adu penalti.

Sepak bola dan olahraga memang begitu. Pengalaman tak selalu membuat kuat menghadapi momen deg-degan. Maka, ketika yang berpengalaman saja bisa takut melihat, apalagi yang tak berpengalaman?

Olimpiade 2020 kemudian kembali menegaskan soal dag dig dug itu. Saya mengetahuinya dari twitter. Ternyata beberapa warga Indonesia tak berani menonton laga bulu tangkis secara langsung di TV.

Padahal, kau tahu, TV membuat acara siaran langsung ya untuk ditonton. Mereka yang takut nonton itu terkena virus deg-degan. Akhirnya, sekalipun di rumah ada TV dan bisa melihat siaran langsung bulu tangkis, mereka memilih berdiam di kamar dan lihat livescore.

Mereka lebih nyaman lihat bulutangkis via livescore. Ya karena deg degan itu.

Jangankan yang lihat siaran langsung, saya yang tak bisa lihat siaran langsung karena faktor parabola pun deg degan. Lihat livescore pun deg degan. Sampai didoain juga. Merapal doa berkali-kali agar Greysia Polii/Apriyani Rahayu menang di perempatfinal kala itu.

Vialli dan ekspresi serta pilihan sebagian kita untuk tak melihat momen mendebarkan, bukan karena tak suka, bukan karena tak mendukung. Enggan melihat itu adalah bentuk cinta yang akut.

Orang-orang yang mendukung amat sangat, kadang takut dengan kegagalan. Kegagalan itu pahit! Walaupun padahal, kelak di kemudian hari, kegagalan dan keberhasilan di final itu adalah cerita paling indah untuk dibagikan.

Ya tapi, itulah cinta yang akut. Takut gagal karena cinta. Enggan melihat karena cinta. Olahraga telah membuat sebagian kita kehilangan kendali dan rasio. Wong disiarkan untuk dilihat, malah tidak dilihat.

Tapi ya itulah cinta. Jika gagal, deritanya bisa tiada akhir. Maka ketika mendukung para pejuang olahraga, sebagian kita ingin berlari menjauh sembari berharap cinta kita berakhir bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun