Sampai kemudian datangkan Maun, ke kampung kami. Si pekerja keras ini berangkat kerja pagi jam 8 dan pulang saat dinihari antara jam 00.00 sampai jam 01.00. Tiap hari seperti itu.
Saat libur, dia lebih sering berada di rumah. Satu ketika dia bilang padaku bahwa dirinya sangat lelah. Maka, dia memilih untuk di rumah saja kala hari libur tiba.
Nah, si Maun ini ternyata sangat terganggu dengan suara Mbah Karsa. Khususnya saat Subuh tiba. Maun memang tak mau kompromi. Dia kalau tak suka, langsung blak-blakan. Dalam satu pertemuan di kampung kami, Maun tumben ikut serta. Dia mengaku sedang cuti kerja.
Di pertemuan itulah Maun bicara sangat keras menentang suara Mbah Karsa.
"Aku itu pulang dinihari. Pukul 04.00 aku masih perlu untuk tidur pulas. Okelah jam 05.00 aku bangun untuk beribadah karena masih memungkinkan di jam itu. Tapi jam 04.00 aku masih butuh waktu istirahat. Suara Mbah Karsa memekakkan telinga. Tolonglah. Apa tidak bisa diganti oleh mereka yang suaranya lebih bagus?" kata Maun.
"Pak Toyib, sebagai ketua takmir harusnya paham bahwa suara Mbah Karsa itu sangat mengganggu. Sangat mengganggu. Aku tiap hari terganggu di pagi hari. Untung aku lebih sering di rumah hanya di pagi hari. Kalau tiap hari aku di rumah, bagaimana rasa tergangguku ini," kata Maun.
Pak Toyib hanya bisa diam. Tapi, di balik ruang pertemuan itu, ternyata Mbah Karsa akan masuk ruangan. Namun, mendengar pernyataan gamblang dari Maun, Mbah Karsa memilih pulang.
Jalan pelan-pelan dia pulang ke rumah. Lalu, semalaman dia menangis tak tertahankan. Dia merasa sangat bersalah karena telah mengganggu orang. Dia merasa sangat bersalah karena telah membuat orang terbangun, padahal harusnya masih tertidur.
Tapi, rasa cintanya untuk terus azan juga membuat hatinya teraduk-aduk tak keruan. Sejak malam itu, Mbah Karsa tak lagi mau menjadi muazin.
Maka, musala yang biasanya terdengar azan tiap lima kali, kini hanya tiga kali. Saat Zuhur dan Asar tak ada yang menjadi muazin. Sebelumnya, di masa Zuhur dan Asar memang Mbah Karsa sering salat sendirian di musala.
Kami merasa ada yang beda dengan langit yang tak pecah karena suara parau itu. Sementara, kondisi kesehatan Mbah Karsa terus memburuk. Aku melihat bagaimana dia memendam cintanya untuk azan dengan pengeras suara. Tiap hari dia sering menangis karena merasa bersalah dan memendam rindu.