Mbah Karsa namanya. Dia sangat senang jika mengumandangkan azan melalui pengeras suara. Sejak pensiun dari penjaga sekolah dasar lima tahun lalu, Mbah Karsa makin sering jadi muazin alias orang yang mengumandangkan azan.
Sebelum waktu salat tiba, Mbah Karsa sudah bersih-bersih musala. Dia menyapu musala atau sekadar memungut sampah-sampah kecil dengan tangannya. Nanti, setelah waktu salat tiba, Mbah Karsa langsung memegang pengeras suara untuk azan.
Mbah Karsa istiqomah menjalankannya tiap hari. Subuh, Zuhur, Asar, Maghrib, Isya jadi ruang bagi Mbah Karsa untuk menjadi muazin. Jika tak ada suara Mbah Karsa, berarti ada yang bermasalah dengan Mbah Karsa. Biasanya dia sakit.
Tapi kau tahu? Mbah Karsa tak memiliki suara emas. Suaranya parau serak tak keruan. Jika kau mendengarkannya, kau akan menilai bahwa itu bukan suara yang merdu.
Tapi, aku pernah melihat bagaimana Mbah Karsa mengumandangkan azan. Suaranya memang parau, namun aku tak pernah melihat Mbah Karsa sebahagia itu. Sebahagia ketika melantunkan azan.
Dia sangat menjiwai memanggil orang untuk datang ke musala. Raut mukanya cerah, walau suaranya parau tak jelas. Aku bukan satu-satunya yang melihat Mbah Karsa bahagia ketika azan.
Banyak orang di kampungku melihat bagaimana antusiasnya Mbah Karsa meramaikan musala. Bagaimana melihat Mbah Karsa bahagia tak terkira ketika akan azan.
Kadang memang malah seperti Mbah Karsalah yang berkuasa atas pengeras suara ketika lima waktu tiba. Ya begitulah. Tapi, demi Tuhan, tak ada satu pun orang di kampungku yang protes suara Mbah Karsa.
Aku tak pernah mendengar sedikit pun protes orang pada suara Mbah Karsa. Jadi bahan pergunjingan pun tak pernah. Walau tentu saja semua orang mengakui bahwa suara Mbah Karsa sangat buruk.
Saat aku wara wiri ke kampung sebelah, tak pernah ada suara miring tentang azan Mbah Karsa. Warga kampung sebelah aku pikir juga mendengar suara Mbah Karsa tiap waktu salat.
***