Mungkin ada yang mengira semua orang, khususnya yang terdidik, mengakui adanya Covid-19. Aku juga pernah mengira seperti itu. Tapi ternyata fenomena yang aku ketahui berkebalikan.
Ada sebagian orang yang masih bilang Covid-19 tak pernah ada. Sebagian dari mereka adalah orang yang sedang atau pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Padahal mereka yang berpendidikan tinggi itu, diajari tentang hal hal yang ilmiah. Ilmiah yang saya pernah baca dari bukunya Pak Sugiyono tentang metode penelitian adalah punya tiga ciri.
Ilmiah itu punya tiga ciri yakni masuk akal, empiris, dan terstruktur. Masuk akal ya bisa dinalar, empiris ada faktanya atau berdasarkan pengalaman, terstruktur itu lebih sebagai sesuatu agar mudah dipelajari orang lain karena ada caranya.
Nah, tinggal diterapkan saja pada Covid-19. Apakah masuk akal, apakah empiris, apakah bisa dideteksi secara sistematis atau terstruktur? Kalau memang masuk semua, ya berarti Covid-19 itu ilmiah.
Kalau sudah dijelaskan tapi masih menolak bagaimana? Ya berarti mereka adalah orang yang menolak fakta. Kenapa orang menolak fakta? Bisa jadi karena benci, bisa jadi karena kemampuannya tak sampai, bisa jadi karena politik, bisa jadi karena yang lainnya lagi.
Kasus di India belakangan ini juga makin menegaskan bahwa Covid-19 itu ada. Jika kau bilang Covid-19 itu fiktif dan kau bilang hal itu di depan orang yang keluarganya meninggal karena Covid-19, kau mungkin akan digampar.
Kasus di India juga terjadi setelah sebagian masyarakat divaksin. Kasus melonjak karena adanya kerumunan yang tak dihindarkan. Kerumunan dalam jumlah besar-besaran.
Sekali lagi, jadikan India sebagai pelajaran yang berarti. Ancaman Covid-19 itu tidak main-main. Disiplinkan diri, untuk tidak berkerumun, jaga jarak, dan cuci tangan, tak bepergian.
Ancaman Covid-19 itu nyata. Kalau sudah banyak fakta yang valid, tapi masih menolak bagaimana? Masih mengatakan Covid-19 hoax belaka, bagaimana?
Ya risiko tanggung sendiri. Karena manusia hidup, perintahnya adalah "Bacalah", bukan "Ngeyellah".