Bising sekali kedua manusia itu. Mereka tak punya malu. Selain di tempat itu, pada forum di desa, berpapasan, di mana saja, jika keduanya bertemu maka adu mulut dan mengungkit masing-masing kesalahan di masa lalu.
Perseteruan itu berjalan sampai 20 tahun. Warga desa dan anak anak mereka sangat jengah. Mungkin kedua pak tua itu juga sudah stress saling serang. Sampai akhirnya keduanya lumpuh tak bisa jalan.
Warno dan Tarno juga ngomongnya mulai tak jelas. Mereka memakai kursi roda. Tapi tetap saja jika bertemu mereka beradu mulut. Menyedihkan lah.
Akhirnya Susi dan Anto membuat bangunan kecil yang nyaman. Ada pendingin ruangan dan dibuat kedap udara. Setiap jam 9 pagi, Warno dan Tarno dimasukkan ke ruang itu, tentu bersama kursi rodanya.
Di ruang kedap itu, keduanya saling serang dengan bahasa yang tak jelas. Nanti kalau jam 12, keduanya disuapi. Setelah makan keduanya dipersilakan ibadah dengan cara yang terbatas di ruang berbeda.
Saat pukul 13.00, mereka kembali dimasukkan dalam ruangan. Warno dan Tarno saling mencaci dengan bahasa yang mungkin antarmereka tak saling mengerti.
Setiap hari rutinitasnya seperti itu. Umur Warno dan Tarno sangat panjang. Mereka sampai 150 tahun. Melanjutkan hari-hari dengan perseteruan di ruang kedap suara itu.
Susi dan Anto sudah meninggal. Maka, tugas cucu-cucunya lah yang membawa ke ruang kedap itu tiap harinya. Saat cucu meninggal, gantian cicit mereka yang membawa ke ruang kedap itu. Dengan suara yang sangat tak jelas, Warno dan Tarno masih berseteru. Mereka saling pandang dengan gerakan kepala yang lambat karena dimakan usia. Mereka terus berpolemik. Sampai kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H