"Bisa-bisa aku yang dituduh memfitnah. Tapi semua orang di kota tahu kelakuan ketiganya. Itu valid, Mar," ujar Diro padaku meyakinkan.
Diro kembali bercerita bagaimana bisnis ketiga orang itu sukses. Setiap pagi, wajahnya cerah, gembira. Ketiganya tak pernah menyakiti orang lain. Setidaknya itu yang terlihat di desa.
Karena rezeki berlimpah, ketiganya berlomba-lomba bersedekah. "Kok selingkuh malah efeknya bagus seperti itu Mar?" kata Diro padaku. Aku tentu tak bisa menjawabnya.
Tapi memang, Dikin, Sanusi, Badri terlihat enjoy menikmati hidupnya. Mereka aktif di kampung, bisnis lancar, dan sedekah tak berhenti. Aku sampai heran, mereka bisa membangun citra yang baik tanpa cela. Berbanding  terbalik dengan yang diceritakan Diro.
"Enak ya selingkuh, Mar. Aku benar-benar ingin selingkuh. Biar hidupku bahagia. Siapa tahu warungku jadi makin laris seperti tiga manusia itu. Mar, sebenarnya apa syarat selingkuh itu?" kata Diro padaku.
"Syaratnya Cuma satu," kataku.
"Apa itu Mar?" tanya Diro antusiasi.
"Ya harus punya pasangan atau istri. Baru bisa selingkuh. Masalahmu, kamu belum punya istri. Apakah kamu sudah punya pacar?" kataku.
"Belum juga Mar. Sudah beberapa kali aku gagal mendekati wanita. Tapi bagaimana kalau aku bayar cewek supaya mau jadi pacarku. Buat formalitas saja bahwa aku sudah punya pacar. Kalau begitu kan aku bisa selingkuh Mar," kata Diro. Â Â
"Sekalian saja bayar cewe untuk menjadi selingkuhanmu," kataku.
"Cerdas juga kamu Mar. Ternyata uang bisa membeli segalanya ya," kata Diro.