Pemuda itu namanya Mamat. Cuma Mamat. Dia tak kerja seperti orang biasa. Tidak ke kantor, tidak ke sawah, tidak jadi youtuber, tidak jadi influencer, tidak jadi guru. Setiap hari dia hanya berdoa, makan, tidur. Itu saja yang dia lakukan.
***
Mamat adalah anak tunggal. Bapaknya meninggal dunia kena peluru nyasar saat ada demonstrasi. Sang ayah yang jualan ice cream itu meninggal dunia. Sejak kematian sang ayah, praktis Mamat hanya dengan ibu. Saat ayah meninggal, Mamat baru berusia 10 tahun.
Perekonomian keluarga kemudian karut marut. Sejak saat itu pula, sang ibu sakit-sakitan. Semua orang kampung simpati dengan apa yang terjadi pada keluarga Mamat. Apalagi, ibu dan ayah Mamat adalah anak tunggal. Keduanya adalah orang perantauan. Famili keduanya sudah tak terdeteksi.
Sampai kemudian, setahun setelah kematian sang ayah, ibu Mamat meninggal dunia. Imbasnya, Mamat sendirian. Dia pun diasuh tetangganya bernama Haji Rozikin.
Tapi Mamat memang tak istimewa di sekolah. Dia sering mendapatkan nilai merah. Kalau pun dia naik kelas itu karena rasa iba para guru yang sangat besar pada Mamat. Nilai Mamat di rapor selalu 6 semua. Jika mau fair, harusnya rata-rata nilai Mamat adalah 4. Tapi, karena iba dari sang guru, Mamat selalu naik kelas.
Mamat bukan hanya tak istimewa di sekolah. Mamat, tak bisa mencangkul dengan baik. Dia tak bisa kerja berat. Pernah satu ketika diajak kerja di sawah, tapi langsung sakit dua hari. Badan panas luar biasa. Dia memang tak istimewa untuk kerja keras. Â
Sekolah tak istimewa, kerja keras tak istimewa. Tak hanya itu, Mamat pernah diajak dagang di pasar. Tapi, malah kacau balau. Dia menjual dagangan Bu Sumi dengan harga yang murah. Katanya, kasihan dengan para pembeli.
Mamat anak yang lurusnya keterlaluan. Dia tidak bisa diajak kompromi. Dia akan bicara sesuai yang dia lihat. Tak mengurangi dan tak menambahi. Ada satu cerita tentang kepolosan Mamat itu.
Ada tetangga kami namanya Sardi yang sudah tua, sakit-sakitan, dan tak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi masih bisa berkomunikasi dengan baik. Sardi ini sangat sayang dengan adiknya yang namanya Sarno. Si adik domisili di desa sebelah.
Satu ketika Sarno lama tak terdengar kabarnya. Ternyata Sarno sudah meninggal dunia. Orang sekampung sepakat menyembunyikan info wafatnya Sarno pada Sardi. Takut Sardi drop dan sakitnya makin parah.
Petaka terjadi saat Mamat dengan polosnya bilang pada Sardi, jika Sarno wafat. Padahal, Mamat diwanti-wanti agar berbohong pada Sardi. Setelah mendengar kabar dari Mamat, sehari kemudian sakit Sardi makin parah, lima hari kemudian meninggal dunia.
***
Setelah Mamat lulus SMK, semua bingung mau bagaimana anak itu. Kerja di kota jelas tak mungkin karena jujurnya keterlaluan. Kemampuan pikirnya juga terbatas. Diminta kerja berat juga tak mungkin.
Orang sekampung memikirkan harus bagaimana Mamat. Maklum, orang kampung sangat sayang pada yatim piatu. Semua pusing memikirkan Mamat.
Sampai kemudian, Wahidin memberi usul agar Mamat hidup di musala saja. Bangunkan ruangan kecil dekat musala sebagai rumahnya. Tugas Mamat hanya berdoa tiap saat. Istirahat untuk, salat, makan, dan minum, tidur.
"Doanya bagaimana?" Tanya Mamat.
"Ya intinya selamatkan kampung kita," kata Wahidin.
"Kenapa tak doa untuk manusia di bumi?" Tanya Mamat.
"Ya silakan kalau mau doa seperti itu. Tapi dari semua doamu, yang pertama adalah selamatkan kampung ini. Jauhkan dari mara bahaya," kata Wahidin.
Akhirnya, Mamat hanya berdoa. Siang, sore, malam, pagi, dia hanya mematung di musala. Dia berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika waktu makan, dia akan makan. Semua kebutuhannya dipenuhi warga.
Mamat sangat kuat untuk bersila dan berdoa tiap harinya. Dia tak pernah minta apa apa kecuali minta makan. Itu pun kalau dia pas sedang tak puasa. Jika puasa, dia minta berbuka.
Kau tahu, saat air bah menerjang daerah kami, maka hanya kampung kami yang tak tersentuh air. Kamu tahu, ketika wabah menyerang daerah kami, kampung kami aman.
Orang-orang yakin karena Mamat adalah orang suci sehingga doanya mudah dikabulkan Yang Maha Kuasa. Karena itu, orang kampung makin sayang pada Mamat.
Sampai satu ketika ada Rudi, anak yang beranjak tua memaksa Mamat untuk ngobrol. "Manusia diciptakan tidak hanya untuk  berdoa. Manusia juga harus kerja. Tidak hanya berpangku tangan dengan menerima derma," kata Rudi.
Mamat kemudian goncang. Dia merasa sangat bersalah karena memberatkan orang kampung yang selalu memberinya makanan. Mamat kemudian pergi dan tak pernah kembali. Dia pergi mengikuti angin berembus. Setiap jalan yang dilewati Mamat, akan berbau wangi melati. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H