Ramai berita soal enam anggota Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak aparat. Saya mau menulis atau berkomentar malah bingung. Sebab, tak paham kronologinya. Apakah itu ditembak atau baku tembak atau bagaimana?
Saya hanya ingin mengatakan, bahwa jika memang tak tahu kronologi pastinya, tentu sulit berkomentar. Maka, orang awam yang tak paham seperti saya ini memilih tak komentar. Sebab, bisa jadi ketika berkomentar malah salah karena analisisnya salah dari kronologi yang salah.
Lebih-lebih saya juga jauh dari lokasi kejadian. Saya ada di Jawa Tengah, sementara kejadian ada di Jakarta. Karena jauhnya lokasi, bau-bau informasi tak bisa diendus dengan maksimal. Kalau di desa saya yang lagi hot ya ngobrol masalah banjir yang terjadi pekan lalu.
Pekan lalu sebagian daerah saya kebanjiran karena sungai meluap. Nah, beberapa rumah tergenang. Ada juga yang mengungsi. Itulah obrolan yang hangat dan kita tahu kondisinya. Atau soal sawah yang saat banjir itu kena dampak. Ada tetangga yang padinya baru berupa benih, akhirnya harus rugi karena disambar banjir.
Ya paling itu obrolan yang sedang hot dan kita sama-sama tahu kejadiannya. Kita sama-sama mengalami ada banjir dan atau bisa dikonfirmasi langsung dengan orang yang mengalaminya. Kan enak kalau begitu. Sebab ada yang tahu pasti tentang kejadiannya.
Nah, kalau soal kasus di Jakarta? Wah jauh sekali dan tak tahu kronologi pastinya. Selain itu, tak melihat langsung. Ya sudah, diam saja. Daripada ngomong salah. Satu lagi, kalau tidak hati-hati kala berbicara, bisa jadi malah kena pasal. Nah, kan malah makin ribet. Sensitif.
Saya mungkin pernah menulis di kompasiana. Atau bisa jadi belum pernah saya tulis di kompasiana. Intinya adalah tahu diri. Jadi, sejarah itu akan bermasalah jika mereka yang tak mengerti keadaan dan tak kompeten ikut bicara panjang lebar atau ikut menulis di media sosial panjang lebar. Sejarah juga akan bermasalah jika mereka yang paham, memilih diam seribu bahasa.
Jika yang tak paham memilih bicara berbusa-busa dan yang paham memilih diam seribu bahasa. Maka, akan diwariskan sebuah cerita yang tak sesuai dengan kenyataannya. Cerita itu akan diwariskan turun-temurun.
Lebih parah lagi jika orang yang paham memilih tak menuliskan kejadian sebenarnya. Jika tak dituliskan, maka satu hal akan lebih cepat menguap dan akan lebih mungkin untuk diselewengkan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H