Presiden Soekarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tanggal 28 Juli 1963. FOTO: IPPHOS dipubliksikan kompas.com
Saya membaca tulisan di buku itu. Buku yang membuat saya berpikir. Apakah kita sudah sulit untuk bercanda?
Satu ketika Hoegeng yang belakangan dikenal sebagai polisi jujur, bertemu dengan Presiden Soekarno. Pertemuan terjadi di tahun 1952. Saat itu Bung Karno bercanda mempertanyakan nama Hoegeng.
"Apa tidak salah itu (nama Hoegeng), kan seharusnya Sugeng. Mbok diganti Soekarno," kata Bung Karno yang mempertanyakan nama Hoegeng, nama yang memang jarang didengar.
Lalu, Hoegeng menjawab. "Ngga bisa pak (ngga bisa diganti Soekarno), karena Hoegeng itu (nama) dari orangtua saya, kebetulan nama pembantu di rumah saya juga Soekarno," jawab Hoegeng.
"Kurang ajar kamu," kata Soekarno sambil tertawa lepas. Percakapan ini saya kutip dari tulisan Asvi Warman Adam, peneliti LIPI dalam pengantar buku "Hoegeng, Oase Penyejuk di Tengah Perilaku Koruptif para Pemimpin Bangsa" karya Aris Santoso dkk.
Saya tak menilai bahwa percakapan antara Preside Soekarno dan Jenderal Hoegeng adalah hal yang serius. Menurut saya itu adalah percakapan yang bercanda yang cerdas. Bercanda yang hanya dimaknai sebagai bercanda.
Presiden yang istilahnya ingin meng-KO Hoegeng, malah balik di-KO. Candaan yang mengena. Saya kemudian membayangkan di tahun 1952 adalah tahun di mana kemerdekaan baru tujuh tahun.
Dalam pikiran saya, tentu waktu itu adalah masa yang susah. Masa yang benar-benar membangun bangsa dari nol. Tingkat pendidikan warga negara saya pikir juga tak seperti saat ini.
Ekonomi di masa itu saya pikir juga tak sebagus masa puluhan tahun setelah merdeka. Namun, di tengah kesulitan, saya dihadapkan pada fakta tulisan Pak Asvi. Fakta tentang bercanda dari pimpinan negara.
Tentu bukan bercandaan yang seperti anak-anak. Tapu bercandaan yang menurut saya tetap beda. Bercandaan yang muncul dalam percakapan dua tokoh itu bisa melepas ketegangan.
Kadang saya berpikir, apakah kita sudah sulit bercanda di masa sulit ini. Kadang orang orang penting di negeri ini bertemu dan bicara dari hati ke hati. Mengeluarkan joke sesekali.
Bertemu dan silaturahmi para elite tanpa kebencian itu penting juga. Karena ketika ngobrol dan bicara dari hati ke hati, kemanusiaan akan terasah. Akan ada saling pengertian. Ujungnya tentu saja tak mudah memunculkan provokasi antarsesama
Sepertinya jika ngobrol antar elite itu dilakukan, kita tak selalu disuguhi tentang kekakuan. Kita tak disuguhi tentang narasi kekerasan. Sebab kita masih  bisa bercanda. Bercanda itu merilekskan.
Tentu juga bukan bercanda yang kelewat batas. Bukan bercanda yang berujung sakit hati. Bukan bercanda yang tak pada tempatnya. Bercanda yang tak pada tempatnya juga memberi bukti bahwa si orangnya tak bisa bercanda.
Saya hanya takut, jika bercanda yang kurang membuat kita, khususnya mereka yang ada di level atas malah kelimpungan. Kelimpungan karena apapun dianggap serius.
Akhirnya malah bingung sendiri karena narasi bercanda sudah hilang dari peredaran. Bahkan bisa jadi sudah lupa bagaimana caranya bercanda. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H