Nama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul terkait demo yang menolak UU Cipta Kerja. Sayangnya, tudingan negatif yang menyasar SBY, yakni mendanai demo menolak UU Cipta Kerja. Tentu saja, tudingan itu langsung dibantah oleh pihak Partai Demokrat.
Politikus Demokrat  Ossy Dermawan menilai bahwa tudingan demo didanai Cikeas atau SBY adalah fitnah dan hoaks. Di sisi lain, saya justru melihat jika isu seperti itu disorotkan ke SBY, malah bisa menguntungkan Partai Demokrat.
Analisisnya seperti ini. Penolakan terhadap UU Cipta Kerja disuarakan banyak pihak. Elemen kampus menolak, partai oposisi menolak, buruh menolak, organisasi kemasyarakatan menolak. Penolakan itu memang berpotensi memunculkan demonstrasi, seperti saat penolakan revisi UU KPK. Â Â Â
Jika demonstrasi kemudian muncul terkait UU Cipta Kerja, maka sudah bisa diprediksi. Hanya saja tentunya demo yang merusak, saya sendiri tak sepakat. Kenapa kemudian ketika demo yang sudah diprediksi itu diarahkan ke SBY?
Menjadikan SBY atau Cikeas sebagai pihak yang dituding tanpa bukti yang jelas, justru makin membuat Demokrat punya ruang untuk membantah dan mendapatkan panggung lebih baik. Demokrat bagaimanapun sudah mendapatkan panggung di DPR RI ketika melakukan walk out.
Panggung Demokrat makin muncul ketika Ketua Umumnya AHY mengungkapkan pandangannya ke publik dengan minta maaf itu. Maka, momen menyerang SBY atau Demokrat tanpa dasar yang kuat, malah akan memosisikan Demokrat sebagai pihak yang dizalimi. Ini justru menjadi poin bagi Demokrat. Mereka jelas akan mendapatkan panggung berlipat-lipat.
Apalagi seperti diketahui, jika politik menjadi korban akan mendapatkan ruang tersendiri dalam perpolitikan Indonesia. Siapa yang disorot menjadi korban, akan mencuat. Setidaknya hal itu pernah terjadi ketika Orde Baru menyerang Megawati atau ketika SBY berlawanan dengan Megawati.
Saat Megawati menjadi sosok yang dizalimi, maka dukungan padanya sangat luar biasa. Buktinya di Pemilu 1999, PDIP yang dipimpin Megawati mampu menang pemilu sampai 33,47 persen. Bahkan, kemenangan dengan persentase itu adalah kemenangan tertinggi dalam sejarah pemilu setelah Reformasi.
Saat SBY berhadapan dengan Mega jelang Pemilu 2004, SBY juga berada dalam posisi yang dipersepsikan dizalimi. Pada akhirnya, semua tahu bahwa pada 2004, SBY dan Jusuf Kalla akhirnya memenangkan Pilpres mengalahkan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Maka sekali lagi, serangan tanpa dasar yang kuat hanya akan menjadi macan ompong. Mungkin bisa menjadi pembicaraan di dunia maya yang heboh itu. Tapi di dunia nyata tak akan seperti itu. Serangan tanpa dasar yang jelas malah akan menguntungkan yang diserang, Yang diserang akan menjadi korban.
Politik memang begitu. Terlalu bersemangan menyerang, malah kebobolan sendiri. Bukan hanya kebobolan, tapi bisa kalah dalam pertandingan yang penting. Maka, kadang politik "menunggu dan melihat" malah lebih manjur untuk mendapatkan kemenangan. (*)