Belakangan ini PDIP disorot soal politik dinasti dalam pilkada. Hal itu salah satunya karena anak Presiden Jokowi (yang kader PDIP) maju dalam Pilkada Solo 2020. Anak Jokowi, yakni Gibran Rakabuming maju sebagai calon Wali Kota Solo.
Namun, dalam helatan Pilkada 2020 ini, PDIP melalui Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri juga  melawan politik dinasti. Hal itu terjadi di Pilkada Kabupaten Semarang 2020.
Ceritanya Bupati Semafang saat ini, Mundjirin tak bisa lagi maju dalam Pilkada Kabupaten Semarang. Sebab, dia sudah dua periode menjabat Bupati Semarang. Lalu, istri Mundjirin yakni Bintang Narsasi kemudian digadang maju Pilkada Kabupaten Semarang.
Keinginan majunya Bintang Narsasi jelas memungkinkan adanya serah jabatan suami ke istri. Ya bisa juga dikatakan upaya melanggengkan dinasti dalam pemerintahan. Tapi, PDIP kemudian tak mengusung Bintang Narsasi.
Sikap PDIP ini tentu bisa dimaknai sebagai melawan politik dinasti. Walaupun makna itu tentu bisa diperdebatkan lebih lanjut. Tapi faktanya PDIP tak mengusung istri sang bupati untuk maju pilkada.
Bintang Narsasi kemudian bersanding dengan Gunawan Wibisono untuk maju pilkada dan diusung PKS, PPP, Gerindra, Golkar, NasDem, PAN. Di sisi lain PDIP mengusung Ngesti Nugraha-Basari. PDIP berkoalisi dengan PKB, Demokrat, Hanura. Sekadar diketahui  Ngesti adalah Wakil Bupati Semarang saat ini.
Atas fenomena itu, Mundjirin memilih mendukung istrinya daripada mendukung calon dari PDIP. Langkah Mundjirin diikuti sang anak, Biena Munawa Hatta yang saat ini adalah anggota DPRD setempat. Akhirnya, PDIP melalui Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri memutuskan memecat Mundjirin dan Biena karena mendukung bukam calon dari PDIP.
Cerita ini menegaskan bahwa politik dinasti tak melulu jadi jualan. Politik dinasti saya pikir akan dilakukan jika menguntungkan secara politik. Namun, jika secara politik tak menguntungkan, maka politik dinasti tak akan dilakukan.
Fenomena di Kabupaten Semarang ini menegaskan bahwa kepentingan partai politik adalah yang utama. Politik dinasti bukan jaminan akan diusung parpol.
Maka, jika ada parpol yang disorot karena mendukung politik dinasti, maka sorotan itu tak akan pasti dan selali seperti itu. Sebab, parpol bergerak sesuai dengan kepentingan politiknya. Bisa saja dalam momen lain parpol tersebut malah melawan politik dinasti.
Maka, jika ada parpol yang melawan politik dinasti, itu patut diduga hanya hasrat kepentingan politik saja. Di kesempatan yang berbeda bisa saja si parpol akan mengusung calon dengan narasi politik dinasti yang kuat. (*)