Lihatlah sampah di Sungai Serayu itu. Sampah yang menumpuk karena ulah tangan-tangan manusia.
Sungai Serayu adalah salah satu ikon yang membelah Jawa Tengah dari bagian tengah menuju barat daya. Sungai ini bersumber dari daerah Dieng.
Sungai mengular melewati lima kabupaten yakni Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. Semua aliran itu akan tumpah di Samudera Hindia.
Sungai Serayu, kemudian diabadikan menjadi sebuah lagu. Lagu itu berjudul "Di Tepinya Sungai Serayu" diciptakan R Soetedja. Nama R Soetedja (1909-1960) diabadikan menjadi sebuah gedung di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas.
Lagu "Di Tepinya Sungai Serayu" bisa Anda nikmati ketika Anda di Stasiun Purwokerto. Setidaknya sampai awal tahun 2020 ketika saya ke Stasiun Purwokerto, lagu "Di Tepinya Sungai Serayu" menjadi penanda masuk dan keluarnya kereta di Stasiun Purwokerto.
Kembali ke Sungai Serayu. Dulu di masa pemerintahan Orde Baru dibangun bendungan Serayu atau dikenal dengan sebutan Bendung Gerak Serayu. Bendungan ini "menghubungkan" Kecamatan Kebasen dan Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
Keberadaan bendungan dibuat katena debit air Sungai Serayu yang melimpah. Bendungan ini dimanfaatkan untuk pengairan sawah pada beberapa area di Banyumas, Cilacap, dan Kebumen.
***
Senin (28/9/2020) pagi, saya melintas di tepi Serayu, tepatnya di sebuah area yang akan dibangun jembatan menghubungkan Kecamatan Patiktaja-Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas.
Di daerah itu saya melihat adanya sampah yang menumpuk. Tentu sampah-sampah itu sebagian adalah ulah tangan manusia. Ketidaksadaran untuk membuang sampah pada tempatnya atau malah membuang sampah ke sungai membuat pesona Serayu tercoreng.
Coba lihat saja bagaimana megahnya Sungai Serayu dengan latar bukit-bukit indahnya. Tapi, kemudian tercoreng oleh sampah yang menumpuk itu.