Mesin pencari Google itu adalah alat bantu, tapi bukan segalanya. Kepandaian itu tak tergantung Google. Mau tahu buktinya? Karena orang-orang pandai di masa lalu pun tak bersentuhan dengan Google.
Saya tak tahu siapa orang terpandai dalam sejarah Indonesia. Namun, sejak masih kecil, saya dan banyak anak yang lain diberi gambaran bahwa orang pandai itu seperti BJ Habibie, mantan Presiden Indonesia. Tentu BJ Habibie orang pandai. Sebab dia bisa sekolah di Jerman, bisa membuat pesawat terbang, dan lainnya.
Apakah Habibie mengenal Google ketika masih sekolah dulu? Ya tentu tidak. Habibie tak mengenal Google karena di masa lalu internet pun belum ada. Orang mendapatkan pelajaran dari guru dan buku.
Orang dulu tak mengenal Google. Siapa lagi orang pandai di zaman dahulu? Ya masih banyak. Mereka semua pandai bukan karena Google.
Saya bukan seorang guru. Tapi, ya kadang dipaksa menjadi guru bagi anak saya’. Menjadi guru bagi anak-anak itu tak mudah. Maka, kadang perlu alat bantu namanya mesin pencari Google. Namun, di sisi lain menurut saya ada beberapa hal yang lebih penting daripada Google.
Pertama adalah memberi akar dan kedua memberi keterbukaan pikiran. Ini memang agak susah. Saya pun kebingungan bagaimana caranya memberikan dua hal itu pada anak yang masih kecil. Tapi ya diusahakan saja dengan cara kita masing-masing.
Pertama soal akar. Yang saya maksud akar adalah hal dasar dari ilmu pengetahuan dan nilai. Misalnya yang dasar dari matematika adalah penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Saya sendiri kesulitan memberi pemahaman secara sederhana pada anak soal hitung-hitungan.
Tapi ya saya coba saja. Kemudian, saya menyederhanakan pengurangan dengan imajinasi paling kuat dari anak saya, yakni sepeda. Apalagi dia suka bersepeda. “Jika kamu punya sepeda 6, lalu diambil enam, sepedamu tinggal berapa?” begitu kira-kira. Selain yang dasar dari matematika, ada juga yang dasar dari ilmu sosial dan lainnya.
Akar selain ilmu pengetahuan adalah akar yang terkait dengan nilai. Kalau saya, secara sederhana nilai adalah hal yang baik dan yang buruk. Hal yang baik dilakukan apa saja dan hal yang tak baik dilakukan apa saja. Tentu nilai ini ada yang bersifat universal dan ada yang bersifat lokal.
Yang bersifat universal ini misalnya bagaimana agar tak mengambil hak orang lain alias mencuri. Sementara yang bersifat lokal adalah yang terkait dengan lokalitas. Ada nilai yang di masyarakat tertentu sangat dijunjung tinggi, tapi di masyarakat lain tak terlalu.
Misalnya, ada masyarakat yang memberi penekanan pada strata bahasa, tapi ada masyarakat yang menilai bahwa strata bahasa itu tidak egaliter. Itu tergantung masyarakatnya dan semuanya punya dasar masing-masing.