Kata bisa ditelan zaman. Apalagi kata yang dimaknai sebagai barang yang sudah tidak ada. Bisa jadi kata itu akan punah atau menuju kepunahan. Adakah kata yang sudah punah di lingkungan para Kompasianer?
Saya akan mengawali dengan kata "sabak". Sabak itu adalah perangkat untuk menulis di zaman dahulu ketika belum ada buku tulis.
Belum lama ini, anak saya diceritai soal sabak oleh neneknya. Kebetulan saya mendengarkan. Lalu saya berkhayal, saya saja tak pernah menggunakan sabak apalagi anak saya.
Kemudian saya berandai-andai. "Jika anak saya paham apa itu sabak, apakah anak saya akan sering mengucapkan kata 'sabak', wong bendanya saja sudah tak ada?"
Akhirnya lama-kelamaan kata sabak akan ditelan zaman. Sebab tak ada lagi yang mengucapkannya karena bendanya saja sudah tidak ada.
Ada juga kata "rugos" benda gosok berbentuk huruf atau angka. Zaman komputer belum massif, banyak yang membeli dan menggunakan rugos. Biasanya untuk halaman depan karya tulis atau skripsi.
Namun, zaman komputer seperti ini, rugos sepertinya sudah jarang ditemui. Karena jarang ditemui, kemudian jarang dilafalkan. Kata "rugos" pun sepertinya bakal menuju kepunahan.
Hal yang sama juga berlaku untuk pager. Dulu pertengahan dekade 90-an, orang kalau membawa pager sudah sangat keren. Pager adalah alat penerima pesan teks seperti sms, tapi hanya bisa menerima dan tak bisa mengirim.
Dalam khasanah bahasa Jawa umum, dulu ada kata "ngangsu". Ngangsu dimaknai sebagai mengambil air di sumur memakai ember yang bertali. Lalu bagaimana kini?
Sepengetahuan saya, sudah jarang sekali ada rumah yang punya sumur dan airnya diambil pakai ember. Kini banyak yang memakai pompa air. Maka, kata "ngangsu" sudah jarang digunakan. Pada satu masa jika semua pakai alat sedot tenaga listrik, kata ngangsu akan punah.
Lalu, bagaimana dengan kompasianer? Apakah ada kata-kata di lingkungan Anda yang mengalami kepunahan? Tentu hanya Anda yang tahu.