Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Munir dan Kasus-kasus yang Hanya Jadi Komoditas Politik

7 September 2020   06:31 Diperbarui: 7 September 2020   06:31 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir meninggal dunia diracun pada 7 September 2004. Hari ini adalah peringatan 16 tahun kematian Munir. Sudah lama sekali kasus ini terjadi, tapi tak pernah terungkap siapa otak pembunuhan Munir. Kasus Munir dan kasus-kasus lain di masa lalu yang tak terselesaikan itu, hanya jadi komoditas politik.

Munir meninggal dunia diracun di atas pesawat Garuda dalam perjalanan menuju Belanda. Munir ke Belanda untuk urusan studi. Saat sampai di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, Munir sudah meninggal dunia. Kepolisian Belanda kemudian menjelaskan hasil autopsi bahwa dalam tubuh Munir ada racun arsenik yang mematikan.

Namun, pihak Kepolisian Belanda tak mau mengusut kasus kematian Munir. Sebab, Munir bukan warga Belanda dan kematian tersebut tidak terjadi di pesawat milik Belanda.

Pengusutan kasus pun dilakukan di Indonesia. Dalam kasus Munir ini, awalnya ada satu orang yang diseret ke pengadilan. Dia adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Polly adalah pilot senior Garuda yang satu pesawat dengan Munir. Polly adalah orang yang dituduh meracuni Munir.

Di pengadilan tingkat pertama, Polly terbukti sebagai pembunuh Munir dan dihukum 14 tahun penjara. Namun, pada tingkat kasasi di MA, Polly dinyatakan tak terbukti membunuh Munir. Polly hanya terbukti memalsukan surat. Di tingkat kasasi itu, Polly hanya dihukum dua tahun penjara.

Kemudian, jaksa mengajukan peninjauan kembali. Hasilnya, dalam peninjauan kembali itu, Polly dinyatakan bersalah sebagai pembunuh Munir. Polly kemudian dihukum 20 tahun penjara.

Polly dinilai sebagai aktor di lapangan. Polly memang tak memiliki hubungan erat dengan Munir. Maka, kemudian siapa otak kasus pembunuhan itu belum terungkap. Muchdi Pr yang dulunya merupakan orang Badan Intelijen Negara (BIN) pernah diproses sampai persidangan.

Namun, pengadilan tingkat pertama dan kasasi menyatakan Muchdi tak terkait pembunuhan Munir. Muchdi pun bebas. Diketahui, Muchdi kini adalah Ketua Umum Partai Berkarya.

Maka, hingga saat ini, hanya Polly yang terjerat dalam kasus pembunuhan Munir. Tentu menjadi pertanyaan besar mengapa hanya aktor lapangan yang terjerat.

Sementara, siapa di balik pembunuhan Munir belum terkuak. Sekadar diketahui, Munir adalah aktivis HAM. Dia melakukan banyak sekali advokasi dalam kasus-kasus HAM.

Nama Munir melambung pada masa akhir Orde Baru. Dia bersama kawan-kawannya membentuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dia mengadvokasi banyak kasus. Dugaan yang muncul adalah bahwa aksi Munir itu membuat gerah kelompok tertentu hingga akhirnya pembunuhan pun dilakukan.

Munir dan Kasus Lain
Tak sedikit kasus-kasus seperti Munir belum terungkap. Selain kasus Munir ada juga kasus orang hilang di masa Reformasi. Ada juga kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah. Ada juga pembunuhan wartawan Udin. Ada kasus hilangnya aktivis Widji Thukul. Ada kasus kerusuhan 27 Juli 1996. Dan tentunya kasus-kasus serupa lainnya.

Memang kasus yang berhubungan dengan politik kekuasaan memang tak mudah untuk dibongkar. Apalagi jika sudah sampai menjadi kasus pembunuhan. Pihak-pihak yang tak bersalah pun kadang dikorbankan untuk dijadikan tersangka, seperti dalam kasus pembunuhan wartawan Udin.

Kasus-kasus yang tak terungkap dan tertuntaskan itu akhirnya menjadi komoditas politik. Suksesi kepemimpinan selalu dihiasi dengan pertanyaan "bagaimana langkah untuk mengusut kasus di masa lalu?" kemudian, seperti biasa janji diungkapkan dan kasus-kasus masa lalu itu tak tuntas.

Politik digunakan untuk memanfaatkan apa saja. Apapun dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensi kemenangan dalam pemilihan. Politik dibuat berjarak dengan realitas yang dialami korban dan para korban kemanusiaan.

Politik dijadikan pesta dengan bumbu janji-janji. Sementara, para korban dan keluarga korban kasus masa lalu hanya menanti dan menanti. Menanti sebuah penantian dan realisasi janji yang makin lama makin dilupakan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun