Penyanyi Pasha Ungu kena "prank" di Pilkada Sulawesi Tengah (Sulteng). Pasha menjadi kandidat Wakil Gubernur Sulteng mendampingi kandidat Gubernur Sulteng Anwar Hafid.
Ceritanya pasangan itu digadang diusung PPP, PAN, dan Demokrat. Dari tiga parpol itu, Anwar-Pasha berarti sudah dapat 9 kursi. Sesuai aturan, maka mereka membutuhkan tiga kursi lagi agar bisa nyalon.
Seperti diberitakan kompas.tv, Golkar kabarnya akan merapat ke Anwar-Pasha. Namun, ternyata Golkar malah mendukung Rusdi Mastura-Mamun Amir. Celakanya, PPP dan PAN yang tadinya merapat ke Anwar-Pasha, memilih putar haluan.
PAN dan PPP ikut mengusung Rusdi Mastura-Mamun-Amir. Dengan kondisi itu, maka Anwar-Pasha makin berat maju di Pilkada, kalau tak mau dikatakan tak mungkin. Â
Seperti diketahui Pasha adalah vokalis Ungu yang saat ini adalah Wakil Wali Kota Palu. Kemudian, dia berencana maju di Pilkada Sulteng dan kejadiannya seperti tulisan di atas.
Kasus berbalik dukungan di politik itu biasa saja. Memang konsekuensi berpolitik seperti itu. Banyak cerita soal balik dukungan. Dahulu ada Matori Abdul Jalil yang merupakan Ketua PKB. Dia pun mendukung Gus Dur menjadi Presiden.
Kala Gus Dur dilengserkan, Matori ikut dalam barisan PDIP. Dia pun kemudian menjadi Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Amien Rais juga begitu. Mendukung Gus Dur dan kemudian ikut melengserkan Gus Dur dari kursi Presiden.
Jadi memang menjadi hal biasa dalam dunia politik. Sekarang teman, besok lawan atau sebaliknya. Juga sudah menjadi rahasia umum jika maju Pilkada harus menyiapkan dana yang tak sedikit.
Kenapa menyiapkan dana yang tak sedikit? Ya karena butuh sosialisasi. Menggerakkan partai pengusung pun butuh dana. Sebab, memasang baliho, Â kerja-kerja politik seperti jadi saksi dalam pencoblosan juga butuh dana. Masa jadi saksi seharian di tempat pemungutan suara tak mendapatkan ongkos?
Dana yang dibutuhkan sangat besar dan itu realitasnya. Kalau maju pilkada tak mau mengeluarkan dana, ya berat. Maju pilkades saja memerlukan dana kan? Kecuali maju sebagai calon RT, tidak butuh dana.
Politik pemilihan memang mahal. Jika hitung-hitungannya cari untung, setelah terpilih kemungkinan akan mengusahakan modal kembali. Di situlah korupsi terjadi. (*)