Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anak Risma Mau Ikut Pilkada dan Fenomena "Jual Nama" di Pemilu

15 Agustus 2020   07:27 Diperbarui: 15 Agustus 2020   07:54 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fuad Bernardi, anak sulung dari Tri Rismaharini seperti diberitakan kompas.com berniat maju dalam Pilkada Kota Surabaya 2020. Aroma politik dinasti pun merebak karena saat ini Tri Rismaharini adalah Wali Kota Surabaya.

Jika Fuad mendapatkan rekomendasi dari PDIP, maka akan menyemarakkan aroma politik dinasti di Pilkada serentak tahun ini. Sebelumnya anak dan menantu Presiden Jokowi Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution sudah mendapatkan rekomendasi untuk maju di pilkada.

Gibran maju di Pilkada Solo dan Bobby di Pilkada Medan. Ada juga keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang maju sebagai Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah juga niat maju di Pilkada Tangsel sebagai calon Wali Kota.

Tentu saja bukan keharaman ketika ada anak pejabat mencalonkan diri di kontestasi pilkada. Sebab, memilih dan dipilih adalah hak warga negara Indonesia. Maka, tak perlu dilarang. Yang bisa dilakukan adalah melawan dengan mendorong calon lain atau terus mewacanakan sisi negatif politik dinasti.

Satu hal yang ingin dituangkan dalam tulisan ini adalah "jual nama" dalam kontestasi pemilu atau pemilihan. Fenomena "jualan nama" adalah ketika calon "menjual nama: orang ternama untuk memperkenalkan diri atau menggaet pemilih. Fenomena ini benar-benar merebak.

Ada banyak contoh yang saya ketahui. Di sebuah desa, ada calon yang maju pemilihan kepala desa dengan "menjual nama" kakeknya. Sebab, kakeknya adalah orang ternama di masa lampau. Sosialisasinya adalah bahwa si calon merupakan keturunan dari orang ternama.

Saat Pemilu 2019 lalu, saya pun  melihat ada calon anggota DPR RI yang menyosialisasikam bahwa dirinya keturunan  pahlawan. Bahkan dalam banner yang dipasang di tepi jalan, digambarkan pula silsilah si calon dengan sang pahlawan.

Saat partai yang diikuti Mba Tutut yakni PKPB ikut Pemilu 2004, yang "dijual" adalah Pak Harto. Bahkan kalau mau lebih nyeleneh lagi, modal kenalan ditulis saja. Contohnya, "Marto, caleg yang juga teman Jokowi". Artinya "jual nama" orang terkenal adalah salah satu cara untuk menggaet pemilih. Syukur-syukur yang punya nama terkenal itu masih saudara.

Menjadi persoalan jika si calon terpilih. Kenapa persoalan? Ya karena nama yang "dicatut" tak bisa lagi bersama. Misal karena teman Jokowi lalu terpilih, apakah saat menjabat akan ditemani Jokowi? Kan tidak.

Maka, menurut saya sudah saatnya memilih orang yang percaya diri. Orang yang tak perlu "menjual nama" orang lain untuk menang. Pilihlah mereka yang memang berani, bersih, percaya diri, dan memiliki kompetensi.

Mereka yang masih pakai embel-embel orang lain, abaikan saja. Sebab, embel-embel itu akan digunakan saat prosesi pemilihan saja. Setelah proses pemilihan, embel-embel nama orang lain itu pasti ditinggalkan. Kan ngga mungkin juga pemilih meminta pertanggungjawaban orang yang namanya "dicatut"? Misalnya, "Pak SBY mana pertanggungjawaban Anda, karena teman Anda ini tak becus memimpin", tentu tak bisa kan seperti itu. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun