Kabar Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang mendapatkan bintang mahaputra nararya memang menghebohkan. Berita itu pun menenggelamkan berita putusan Mahkamah Agung (MA) yang "mengesahkan" kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sebenarnya, saya pribadi termasuk yang sangat menunggu kabar putusan MA soal gugatan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan itu jelas berdampak pada hajat hidup orang banyak. Siapapun yang ikut BPJS Kesehatan akan terdampak putusan MA.
Pada akhirnya, Senin lalu MA "mengesahkan" kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Putusan MA ini berbeda dengan putusan sebelumnya.
Soal iuran BPJS Kesehatan ini bermula dari Peraturan Presiden yang mengatur tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 160.000, dari Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 110.000, dari Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Aturan yang terkait iuran itu, kemudian diuji materi oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Lalu, MA memutuskan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Tapi, setelah putusan MA itu, Presiden membuat peraturan baru yang substansinya sama, yakni kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hanya saja rupiahnya agak berbeda.
Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Atas Perpres yang baru itu, KPCDI kembali mengajukan uji materi ke MA. Namun, usaha kedua kalinya ini gagal. Senin (10/8/2020) MA memutuskan menolak uji materi yang diajukan KPCDI. Artinya, MA "mengesahkan" kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Kenaikan BPJS Kesehatan ini jelas memberatkan. Apalagi, kondisi ekonomi sebagian masyarakat sedang sulit. Tapi, massifnya berita Fadli dan Fahri telah menenggelamkan berita putusan MA soal BPJS Kesehatan. Apa sih efek dari tenggelamnya isu BPJS Kesehatan?
Tentunya teriakan penolakan kenaikan tarif BPJS Kesehatan tak akan terdengar nyaring. Jika tekanan tak nyaring, maka tekanan pada kebijakan pemerintah tak akan kuat. Kesannya pun masyarakat menerima mutlak kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu.
Tak nyaringnya berita putusan MA soal iuran BPJS Kesehatan, sekali lagi karena sangat santer kabar Fadli dan Fahri yang dapat bintang mahaputra nararya. Belum lagi gegap gempita pilkada terkait politik dinasti juga gencar menjadi santapan media.
Kabar BPJS Kesehatan benar-benar tenggelam. Ya begitulah kabar. Jika ada kabar yang menggemparkan atau menghebohkan sekalipun mungkin tak berdampak besar pada masyarakat, bisa menenggelamkan berita yang lebih penting. (*)