Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dicopot sebagai Kapolri, Tak Punya Uang untuk Beli Beras

12 Agustus 2020   08:58 Diperbarui: 12 Agustus 2020   08:55 2314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini soal cerita para pejabat yang tak kaya. Kali ini kembali cerita tentang Jenderal Hoegeng. Oiya tulisan saya soal pejabat tak kaya yakni eks Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga bisa dibaca di sini. Uniknya, Hoegeng dan Abdul Rahman Saleh sama-sama dari Pekalongan.

Hoegeng dicopot dari jabatan sebagai Kapolri pada 1971. Hoegeng dicopot oleh Presiden Soeharto. Setelah dicopot dari jabatan Kapolri, Hoegeng ditawari menjadi duta besar. Tapi Hoegeng menolak karena tak pandai basa-basi.

Hoegeng kemudian bilang ingin mengabdi di dalam negeri saja. Tapi, Soeharto bilang tak ada jabatan yang kosong di dalam negeri. Hoegeng pun kemudian akan mendapatkan uang pensiun.

Tapi, Hoegeng tak mau menerima uang pensiun karena dia sebenarnya belum masanya pensiun. Dia dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri. Rumor yang beredar bahwa Hoegeng tanpa kompromi dalam penegakan hukum.

Setelah tak menjabat Kapolri, Hoegeng pun mengalami kesulitan. Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta yang menceritakannya dalam buku "Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa".

Ali Sadikin berujar bahwa setelah dicopot dari Kapolri dan menolak uang pensiun, keuangan Hoegeng bermasalah. Bahkan di masa-masa awal setelah tak jadi Kapolri, Hoegeng tak punya uang untuk membeli beras.

Memang pendapatan Hoegeng hanya dari gajinya sebagai polisi. Sang istri yang dulunya berbisnis bunga, disuruh berhenti oleh Hoegeng ketika Hoegeng jadi kepala Imigrasi. Hoegeng tak mau orang berbaik dengannya melalui membeli bunga sang istri.

Hidup Hoegeng juga diperumit ketika dia masuk kelompok Petisi 50 yang di dalamnya ada juga Ali Sadikin. Anggota Petisi 50 tak boleh ke luar negeri, tak boleh dapat kredit dari bank, diisolasi dari publikasi media, anggota Petisi 50 tak boleh diundang di acara pernikahan jika Soeharto diundang pada pesta tersebut. Contoh itu hanya sebagian yang harus diterima Hoegeng sebagai anggota Petisi 50.

Cerita Hoegeng ini menjelaskan bahwa negeri kita memiliki sosok yang sederhana dan tidak serakah ketika memimpin. Cerita Hoegeng bukan untuk meminta supaya pejabat harus miskin, tapi menegaskan bahwa pejabat tak boleh serakah.

Pejabat tak semestinya aji mumpung. Misalnya mumpung menjabat, segala yang berbau harta dikeruk. Imbasnya, akan buruk bagi diri sendiri dan masyarakat.

Cerita Hoegeng jadi sangat penting ketika negeri ini masih berkutat melawan korupsi. Seperti kata Hoegeng, bersih itu dimulai dari atas. Jika atasnya bersih, maka bawahnya ikut bersih. Hoegeng menganalogikannya seperti seorang yang mandi, di mana yang diguyur terlebih dahulu adalah kepalanya. Hoegeng yang kelahiran 1921 wafat pada 2004 lalu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun