Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marak Akun "Garis Lucu" dan Lucu yang Tak Serius

27 Juni 2020   07:47 Diperbarui: 27 Juni 2020   07:47 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan akun-akun garis lucu di twitter. Dokpri

Dua hal pada judul di atas tidak saling bergandengan. Akun "garis lucu" yang marak di media sosial dan kelucuan yang tak serius adalah dua hal yang berbeda. Tapi harapan saya sebenarnya dengan adanya banyak akun "garis lucu" memicu kelucuan yang serius.

Hanya saja, ternyata "garis lucu" yang mewabah di dunia maya belum memicu kelucuan yang serius di kehidupan nyata. Maka, sepertinya gerakan lucu perlu lebih ditekankan, mungkin seperti jargon masa lalu.

Apa jargon itu, ya "memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat" yang bisa ditiru dengan "memasyarakatkan lucu dan melucukan masyarakat".

Saya tulis dulu soal akun "garis lucu". Saya tak terlalu paham sejarah akun "garis lucu" merebak di media sosial. Tapi yang pasti, saya melihat banyak akun "garis lucu". Ada NU garis lucu, muhammadiyah garis lucu, katolik garis lucu, buddhis garis lucu, bahkan ada minimarket garis lucu.

Artinya apa? Kalau dugaan saya bahwa lucu sekarang jadi tren di dunia maya. Tren yang dikuatkan dengan akun. Mungkin dulu lucu memang sudah tren, tapi belum diakunkan.

Selain itu, orang-orang sudah berani melabeli diri dengan lucu. Melabeli dengan lucu itu sebenarnya agak beban. Apalagi, kalau ternyata malah tak bisa membuat lucu. Tapi, ternyata kini banyak orang percaya diri bisa melucu.

Alasan lainnya, mungkin memang ingin melepas ketegangan. Maklum, di dunia yang makin ruwet ini, kelucuan harua hadir. Kelucuan bukan hanya penawar, tapi juga obat bagi dunia yang makin ruwet.

Banyaknya akun "garis lucu" ini sebenarnya bisa memicu kita untuk bisa melucu dengan serius. Atau kita bisa terpancing untuk pandai atau serius memaknai kelucuan. Namun, fakta yang tergelar di sekitar kita malah sebaliknya. Ada lucu yang tak serius atau tak serius dalam merespons kelucuan.

Contohnya, ketika ada kelucuan dan semua orang paham bahwa itu adalah kelucuan, tak ditanggapi dengan serius. Menanggapi kelucuan dengan serius adalah menanggapi kelucuan dengan kelucuan.

Lucu ditanggapi sebagai kelucuan. Maka itulah keseriusan. Yang terjadi tak seperti itu. Kelucuan ditanggapi dengan pembungkaman. Kelucuan ditanggapi dengan memolisikan. Kelucuan ditanggapi dengan perundungan. Itu kan tak serius!

Sekali lagi, serius adalah ketika kita menanggapi kelucuan dengan kelucuan. Itu adalah serius dari perspektif perespons kelucuan. Ada juga kelucuan dari perspektif pelaku kelucuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun