Tiap 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Saya memaknai Hari Lingkungan Hidup sebagai pengingat bahwa kita harus peduli pada lingkungan. Kepedulian pada lingkungan hidup tentu tak hanya pada Hari Lingkungan Hidup. Kepedulian pada lingkungan hidup dilakukan setiap saat.
Dahulu kala, pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim sangat membekas di kenangan saya. Pernyataannya adalah, "alam bukan warisan nenek moyang kita, tapi titipan anak cucu kita". Jika ingat pernyataan itu, saya termenung. Saya kadang bertanya pada diri sendiri, apakah anak cucu kita akan menikmati beningnya sungai, udara yang bersih, lingkungan yang bersih karena sampah yang dikelola?
Saya kadang bertanya pada diri sendiri, apakah anak cucu kita akan menikmati suburnya tanah sehingga bisa panen buah-buahan dengan melimpah? Itu pertanyaan yang harus direalisasikan, tapi... tak tahulah. Dengan dalih ekonomi, kita sama-sama merusak bumi ini pelan-pelan atau bahkan secepatnya. Â
Pertama soal plastik. Plastik menjadi sampah yang sangat tak ramah lingkungan. Bumi membutuhkan waktu dari puluhan sampai ribuan tahun untuk mengurai satu sampah plastik. Jika di dalam tanah penuh dengan sampah, maka nalar awam saya mengatakan bahwa tanah tak lagi subur. Â Sebab, resapan tanah tak maksimal karena terhalang plastik. Aliran air di dalam tanah pun tak alamiah. Hewan di dalam tanah ada yang memakan plastik? Jika pun iya, maka hewan itu akan mengalami masalah di pencernaannya dan tewas.
Lalu, seberapa banyak sampah plastik di sekitar kita? Banyak sekali. Kantong plastik, tempat sabun, tempat shampo, beli makanan di warung dengan kertas berlapis plastik, dan banyak lagi. Plastik menjadi temuan luar biasa tapi juga petaka. Lalu, ke mana plastik-plastik itu setelah tak lagi digunakan? Ya di tanah dan membuat tanah rusak. Jika pun tidak di tanah, maka ada di laut yang telah merusak ekosistem laut.
Sementara, pabrik pemroduksi plastik pun tetap berjalan. Jika kita tak lagi menggunakan plastik, secara massif, maka pabrik itu akan mem-PHK banyak karyawan. Karyawan yang bisa jadi adalah saudara atau tetangga kita. Ya akhirnya, pilihannya adalah pengendalian sampah plastik dan berharap agar ada teknologi yang bisa menyelesaikan sampah plastik secara massif. Â
Saya pernah baca bahwa pembakaran yang dibutuhkan dalam industri semen, sangat membutuhkan plastik. Tapi, semakin banyak semen juga semakin banyak bangunan. Semakin banyak bangunan juga membuat tanah tak bisa meresap air secara maksimal. Petaka lagi buat tanah kita.
Fakta plastik dan bangunan yang mengerikan ini kemudian membuat saya berpikir bahwa kita mewariskan tanah yang tak lagi subur pada anak cucu kita. Kita mewariskan petaka di dalam tanah. Petaka banjir karena tanah bagian atas tak bisa lagi menyerap mengingat sudah berubah menjadi beton.
Itu baru plastik dan bangunan. Di dunia modern ini mobilitas yang cepat juga sangat dibutuhkan. Karena mobilitas yang cepat itu, orang membutuhkan kendaraan bermotor. Bahkan, karena ingin nyaman maka orang menggunakan mobil.
Pernah saya berpikir bahwa asap kendaraan bermotor itu apakah berdampak pada kesehatan kita? Saya pernah dengar itu akan menjadi partikel yang tak menyehatkan bagi kita ketika masuk ke tubuh melalui hidung kita. Pernah saya membayangkan jika anak-anak kecil kita dipaksa menghirup asap itu karena keadaan yang tak memungkinkan. Berangkat sekolah, berhadapan dengan hilir mudik kendaraan dan menghirup asap kendaraan bermotor.
Saya melihat di sekeliling saya sudah banyak yang memiliki kendaraan bermotor, termasuk saya sendiri. Beda dengan zaman di mana saya masih kecil. Saya ingat, di masa kecil saya, hanya ada lima orang mungkin yang memiliki kendaraan bermotor. Itu pun sebagian adalah kendaraan dinas berpelat merah.