Mata ibu berkaca-kaca ketika aku memakai toga. Ibu merasa bahwa perjuangannya tak sia-sia. Saat acara wisuda itu, ibu menemaniku sembari sesekali sesenggukan.
Oiya, namaku Yadi dan aku anak tunggal. Aku lanjutkan ceritaku. Aku sebenarnya tak enak hati dengan orang-orang di sampingku karena ibu sesenggukan saat acara wisuda, tapi mau bagaimana lagi. Ibu jadi sosok yang sangat penting bagi pendidikanku.
Ibu membuka warung, jualan nasi kala pagi hari di pasar. Itu ibu lakukan sejak bapak berpulang ketika aku masih SMP. Ibu pontang-panting sendirian tiap paginya. Ibu tak pernah mengajari aku untuk belajar. Ibu hanya bilang padaku jadi anak baik-baik. Ya aku merasa tak banyak ulah sampai aku lulus kuliah. Di sisi lain, nilaiku tak istimewa amat.
Setelah wisuda itu, ibu hanya berdoa aku bisa bekerja. Ibu tak mau aku menjadi pedagang di pasar. Usahakan kerja kantoran. Maka, sesuai dengan perintah ibu, semua perusahaan dan instansi pemerintahan yang buka lowongan aku masuki.
Mungkin aku sudah memasukkan 30 lamaran bekerja. Salah satunya di sebuah dinas pemerintahan di daerahku. Aku memasukkannya karena ada informasi tenaga honorer di sana. Informasi dari seorang tetangga.
Aku sebenarnya tak percaya, tapi ibu meminta aku usaha saja mendaftar di instansi pemerintahan, sekalipun jadi honorer. Wak Warto, tetanggaku yang menguruskannya.
Wak Warto bilang padaku dan ibuku, supaya lancar, butuh Rp 10 juta. Aku jelas menolak mentah-mentah. Tapi aku menolak ketika Wak Karto sudah pulang. Aku menolak permintaan itu di depan ibu. Tapi, ibu benar-benar berharap aku bisa kerja kantoran.
Ibu bilang, ada uang sejumlah yang diminta Wak Warto. Jika ibu sudah seperti batu, aku hanya menggelinding saja. Singkat cerita uang itu diberikanlah ke Wak Warto. Sejak mula aku sudah menduga bahwa tak akan pernah terjadi aku diterima di instansi pemerintahan itu.
Ya karena memang janggal. Reputasi Wak Warto lebih sering jeblok daripada berhasil. Dua bulan berlalu, ibu bolak-balik mendatangi Wak Warto. Seperti kuduga, Wak Warto buat alasan segunung. Bilang lowongan untuk S2, sudah diisi orang lain, duitnya sudah telanjur diberikan yang ngurus di instansi tersebut, dan lainnya.
Satu kejadian selesai dan berlanjut ke kejadian lain. Satu ketika Pak Nana datang ke rumah. Dia adalah teman almarhum bapak. Entah dapat kabar dari mana, Pak Nana bilang bahwa tulisanku bagus. Maka dia bilang, aku bisa kerja di perusahaan penerbitan.
Kata Pak Nana, aku bisa jadi editor tulisan. Ibu manggut-manggut dengan cerita Pak Nana yang berbusa-busa. Tiga kali dalam dua pekan, Pak Nana bolak-balik ke rumah.